Entri Populer

Bulan



2

Rumah panggung itu hanya milik Tuangi lipu’, yaitu golongan masyarakat di bawah bangsawan, yang berdagang namun tertata apik. Di halamannya yang luas ditanam berbagai aneka bunga, jalan masuk telah diperkeras dengan kerikil. Warung kecil di depan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga menyedapkan mata. Warung itu seperti dapurnya rumah panggung namun lebih indah daripada dapur. Rumah panggung dicat dengan warna kayu, alami namun mengkilap. Gudang kopra sengaja diletakan di belakang rumah agar tak merusak pemandangan.
Hasan dan Hasnah, suami-isteri pemilik rumah, tak bisa lagi memikirkan semua itu. Sebagai pedagang mereka cukup sibuk melayani pembeli, membeli hasil bumi dan memasarkannya. Bulan, anak mereka satu-satunya yang membuat suasana rumah menjadi nyaman seperti itu.

Orang-orang senang memandangi dan mengunjungi rumah itu. Tentu orang tua Bulan juga yang senang. Sebagai pedagang, tamu berarti pembeli atau minimal calon pembeli. Promosi gratis terjadi. Yang merepotkan, ternyata banyak juga yang tidak sekadar membeli atau menjual sesuatu di sana. Mereka tak begitu tertarik dengan jual-beli, mereka juga tak begitu tertarik dengan keasrian rumah. Yang membuat mereka tertarik adalah orang yang membuat rumah itu menjadi asri. Tentu yang seperti ini adalah pemuda. Bulan menjadi tujuan mereka satu-satunya.
Bulan memang menarik. Kulitnya yang putih mulus, hidungnya yang bangir, bibirnya yang mungil tipis selalu merkah. Ditambah rambutnya yang panjang bergerai membuat pisik Bulan luar biasa indah.
Indah! Sesuatu yang melebihi dari sekadar cantik.
Bukan hanya pisik yang menarik pada Bulan. Selain cantik dalam pisik, orang tuanya termasuk Tuangi lipu’ yang berada. Usaha orang tuanya berjalan lancar dan terus berkembang. Ini membuat Bulan laksana bulan ko pulu’ bo lima, seperti bulan ke lima belas. Sinarnya menembus ke relung hati setiap pemuda. Dia dikenal tak hanya di Motoboi tapi juga di kampung sekitar—Poyowa, Kopandakan, Pobundayan, Matali, Molinow, Mongkononai.
Sejak Bulan berumur tiga belas, naik-turun para pemuda ke/dari rumahnya. Memang bukan para putra bangsawan tapi putra orang-orang penting dari berbagai kampung—anak sangadi[i], bobato[ii], guhanga[iii], orang-orang kaya dari golongan Tuangi lipu’. Merepotkan. Kunjungan mereka bukan kunjungan biasa tapi untuk menarik perhatian.
Merepotkan. Entah siapa dan seperti apa yang Bulan inginkan. Yang jelas, tak satupun dari pemuda itu yang dia senangi. Bahkan tak jarang Bulan tidak melayani. Dia hanya menyuruh Latmi untuk menghidangkan kopi. Dia sama sekali tak ingin menampakan diri.
Penolakan seperti itu sudah biasa. Namun kali ini lain. Junda, anaknya Longki, pedagang penampung di Kotabangon tempat orang tua Bulan menjual hasil bumi yang dibeli dari masyarakat sekitar, datang bersama orang tuanya.
“Pergilan ke depan, Ulan. Hidangkanlah kopi untuk mereka,” pinta Hasnah lembut.
“Mereka kan membicarakan jual-beli, Ina’. Saya tak tahu jual-beli. Biar Latmi saja.”
“Engkau tak ingin kita kehilangan teman dagang, kan?” sang ibu marah dengan sikap pura-pura anaknya.
Tentu Bulan tak ingin orang tuanya kehilangan kawan dagang. Selain berdagang tak ada lagi sumber penghasilan lain orang tuanya. Kebun dibeberapa tempat hanya bisa untuk makan saja. Namun dia sama sekali tak senang menghadapi Junda. Junda melebihi anak pembesar kampung. Dia sudah dua kali bercerai. Para mantan isterinya terlantar padahal orang tuanya mempunyai harta yang cukup.
Ina’ dan Ama’ hendak menggadaikan saya?”
Hasnah kaget luar biasa. Matanya mendelik. “Bicara apa kau?” bentaknya.
Bulan tertunduk. Diumurnya yang ke tujuh belas, baru sekali ini ibunya marah. “Tapi hanya sekadar mengantar kopi, Ina’,” kata Bulan, nadanya merendah namun menawar.
“Ya, antarkanlah dulu kopinya.”
Bulan membuat kopi untuk dua orang dan mengantarkannya. Dia memandang marah ke arah Junda. Junda membalas dengan pandangan menggoda.
“Lho, orang sebegini banyak kok engkau hanya membawa dua gelas,” Longki terkekeh, di dalam mulutnya hanya tinggal gusi.
Bulan menghitung. Ternyata ada tujuh orang semua. Apa Junda telah membawa guhanga? Bulan benar-benar marah.
Tuang[iv] seperti tak tahu saja,” kata seorang, seumuran dengan orang tua Junda. Bulan tak tahu namanya. “Calon suami dan calon mertua kan harus diutamakan,” sambungnya.
Bulan benar-benar marah. Tanpa pamit dia meninggalkan ruangan. Bulan masih sempat mendengar, entah siapa berkata: “Anak gadis selalu begini kalau dilamar. Namun lihat nanti. Dia pasti akan menyesal tak secepatnya dinikahkan.” Bulan semakin mempercepat langkahnya. Dia bingung. Entah mengapa orang tuanya tidak berkata apa-apa. Berarti benar dugaannya. Orang tuanya sudah menggadaikannya. Ini membuat Bulan marah.
Setelah di dapur.
“Latmi, kau buatkan kopi dan antarkan!” katanya pada Latmi yang sedang bersiap menggoda.
Senyum Latmi langsung hilang. Walau bukan diistilahkan sebagai ata karena yang berhak punya ata hanya bangsawan namun dia adalah pelayan Bulan. Dia harus taat kalau ingin tetap diberi makan.
“Ada berapa semua, Ulan?” tanyanya.
“Hitung sendiri.”
Bergegas Latmi ke depan. Menghitung, kemudian kembali ke dapur. Dia mengambil cangkir dan membuatkan kopi sesuai jumlah yang datang. Dia tak memperhatikan wajah Bulan yang cemberut.
“Kalau Ama’ dan Ina’ memaksaku menikah aku akan pergi. Engkau uruslah dirimu sendiri.”
Latmi langsung meletakan sendok. “Jangan begitu, Ulan. Kalau Ulan pergi aku akan ikut juga.”
“Aku bukan Tuang-mu. Ama’ dan Ina’lah Tuang-mu. Karena itu, engkau harus mendengarkan mereka.”
“Jika begitu, engkau menganggapku sebagai ata yang tak mempunyai pilihan?”
Bulan tercekat. Dia terdiam sesaat. Keningnya berkerut. Selain yang berhak punya ata hanya para bangsawan, Bulan juga membenci pembedaan manusia di dunia. Bulan berpendapat pembedaan di dalam agama merupakan urusan akherat.
“Apa aku pernah memperlakukanmu seperti ata?” tanya Bulan sendu.
“Dulu tidak. Tapi sekarang engkau menganggapku seperti ata. Aku tak kau beri kesempatan untuk menentukan pilihan.”
Bulan bingung. Dia tak pernah berpikir akibatnya akan seperti ini. Dia semakin bingung ketika sesenggukan Latmi mulai terdengar.
“Mengapa kopinya lama sekali?” bentak Hasnah yang muncul di ambang dapur. Tak ada yang menjawab. “Mengapa kau menangis, Latmi?”
“Ulan akan pergi, Tuang. Dia akan meninggalkan kita,” kata Latmi di tengah sesenggukannya.
“Kau mau ke mana, Ulan?”
“Ke mana saja tempat yang membuat saya bisa menentukan jodoh saya sendiri.”
Hasnah langsung berubah kaku. Sesaat dia temangu. Pinungul kata orang. Kemudian dia tersadar. Ini tak bisa dibiarkan. “Panggilah Tuang, Ami,” katanya lembut pada Latmi. Latmi menyeka mata dan melangkah. “Ah, biarlah. Biar aku saja,” cegah Hasnah. Dia langsung masuk ke dalam rumah. Para tamu heran melihatnya yang berjingkat-jingkat, mendekati suaminya, dan berbisik. Seperti pada isterinya, Hasan kaget juga. Kemudian, tanpa pamit dia ke dapur, meninggalkan para tamu yang semakin bingung.
Sebagai pedagang, Hasan selalu tenang dalam menghadapi berbagai masalah. Kali ini juga. Isteri dan anaknya dia giring ke meja makan, juga Latmi.
“Saya minta maaf pada kalian semua. Saya telah mengambil membuka ruang untuk mereka tanpa berunding dengan kalian…”
“Apa maksud Ama’?” tanya Bulan tak sabar.
Hasan terdiam sesaat. Dari raut wajahnya yang lesu jelas terlihat penyesalan. “Kemarin, saat membawa kopra ke Kotabangon, Tuang Longki bilang akan menemani anaknya, Junda, ke sini. Aku tahu artinya itu. Namun kukira dia bergurau. Maka kubalas bergurau. Kukatakan padanya kita siap menerima. Kukatakan juga siapa tahu kita bisa membicarakan pengembangan usaha. Dia bilang, semua bisa diatur kalau yang pertama bisa diatur. Tentu kalian tahu yang pertama itu apa. Dia ingin Bulan menikah dengan anaknya. Untuk yang ini aku tak menanggapi. Dan hari ini mereka benar-benar datang. Ternyata Tuang Longki serius…”
Ama’ tak hanya menggadaikanku tapi sudah menjualku,” potong Bulan lagi, dia meraung.
“Sabarlah, Nak. Sabar,” Hasnah membujuk.
“Saya memang bersalah, Ulan. Namun kukira ini akan baik untuk perkembangan usaha kita.”
“Usaha kita apa? Ini hanya menguntungkan Ama’ saja, sedangkan saya jadi sengsara.”
“Sabarlah dulu, Ulan,” Hasnah masih membujuk.
Sesaat hening. Hasan menarik napas berulang-ulang. “Baiklah,” katanya, menarik napas lagi. Keningnya bertaut. “Ini pilihan kita. Kalau Bulan menikah dengan Junda maka usaha kita akan cepat berkembang. Namun jika tak jadi maka kemungkinan kita akan kehilangan teman dagang. Memang tidak mematikan usaha kita. Namun akan membuat kita harus memulai dari awal. Teman dagang yang baru pasti akan menekan harga. Keuntungan kita akan sangat sedikit.”
Hasan membiarkan keheningan. Di dalam rumah, para tamu saling berbisik. Mempertanyakan apa yang terjadi di belakang.
“Inilah pilihan kita. Risikonya harus kita tanggung bersama,” Hasan melanjutkan.
Bulan menarik napas. Ada kelegaan dalam hatinya. Namun dia tetap mengancam. Katanya: “Aku siap hidup susah, Ama’, Ina’. Namun aku sangat tak ingin menikah dengan Junda.
Hasan menarik napas, kemudia dia berdiri. “Yah, itulah keputusan kita,” katanya, menarik napas lagi, kemudian menemui para tamu.
Longki jelas tak menerima. Dia marah. Dia merasa telah dipermalukan. Dan dia membalas. Dia tak hanya memutuskan hubungan dagang dengan Hasan. Lebih dari itu, dia berusaha agar Hasan tak mendapatkan teman dagang. Pada pedagang lain di Kotabangon dia bilang bahwa Hasan tak bisa dipercaya sehingga dia, Tuang Longki, memutuskan hubungan dagang.
Sulit. Kesuksesan berdagang sebagian besar karena kepercayaan dan orang-orang tak percaya lagi pada Hasan. Selama bertahun-tahun Hasan hanya berhubungan dagang dengan Longki karena Longki selalu menjual barang murah padanya dan membeli hasil bumi yang dia kumpulkan lebih tinggi daripada pembeli lain. Keuntungan yang didapat saat berhubungan dagang dengan Longki memang lebih besar. Namun terlalu akrab dalam berhubungan ternyata menjadi bumerang. Ketika Longki memutuskan hubungan dagang maka pedagang lain juga tak ingin berhubungan. Mereka pasti berpikir bahwa yang dikatakan Longki benar.
Sulit. Hasan baru pedagang kecil di kampung Motoboi yang agak jauh dari bandar. Dan Hasan, tanpa sengaja, telah mengumumkan perang pada para raksasa itu. Tentu dia kalah. Hasil bumi yang dia kumpulkan sulit dipasarkan, juga dia tak bisa lagi mendapatkan barang hutangan untuk dijual. Seperti kerakap di atas batu. Usaha Hasan memang tidak mati namun sulit berkembang. Bisa dikatakan, usaha itu hanya cukup untuk makan.
Bulan merasa bersalah. Dia merasa usaha orang tuanya jatuh karena dirinya. Namun orang tuanya selalu bilang, tak perlu menyesal ketika menjalankan pilihan kita. Kata orang tua Bulan: menentukan pilihan, menjalaninya, dan menghadapi risiko, merupakan fitrah manusia; karena itulah manusia dijadikan Khalifah!
Entah hanya menghibur atau orang tuanya benar-benar ikhlas, namun mereka tak pernah terang-terangan mempersalahkan Bulan. Apalagi, selalu ada yang aneh dalam perdagangan. Satu pedagang besar di Kotabangon mau menjadi kawan dagang orang tua Bulan. Dia membeli hasil bumi yang dikumpulkan orang tua Bulan, dia juga memberi barang yang akan diperdagangkan. Hasil yang didapatkan memang tak sebesar saat berlangganan dengan Longki, namun usaha orang tua Bulan kembali merangkak naik.
Kejadian itu merupakan peristiwa berharga bagi orang tua Bulan. Sejak saat itu mereka tak berani lagi mengambil keputusan sendiri tentang jodoh anaknya.




[i] Sangadi: Kepala Desa
[ii] Bobato: Pembantu sangadi
[iii] Guhanga: Tetua adat
[iv] Tuang: Tuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar