2
Jika kau benar-benar pencinta, tak benar jika pandanganmu mendua karena itu nafsu namanya
(Ansy)
Kepulanganku sangat tiba-tiba. Tak direncanakan. Walau antusias namun orang tuaku tak bisa menjadi sponsor tunggal. Alhamdulillah aku dikarunia bakat menulis. Sebenarnya tak tepat juga kalau dikatakan bakat. Aku menulis karena dipaksa kehidupan rantau. Alhamdulillah tulisanku laku di beberapa media. Dan walau malas menulis surat namun, karena kebutuhan, aku tetap berusaha menulis untuk media. Ditambah sumbangan dari orang tua, honor tulisan itu bisa membeli tiket, cadangan makan di kapal—aku sulit menelan makanan kapal sehingga perlu membeli makan saat transit, dan ke pangkalan angkutan yang akan ke kampungku. Rencananya, aku akan membayar ongkos angkutan itu di rumah.
Tangga kapal tak lebih seratus meter tapi rasanya seperti mendaki gunung tertinggi, tentu ukurannya gunung yang pernah aku daki. Travel bag yang kusandang di pundak rasanya semakin berat, padahal isinya hanya baju, beberapa buku dan beberapa kilo apel; untuk oleh-oleh. Apalagi ditambah bau penumpang—bau parfum, keringat, ketiak—membuatku pening dan ingin muntah. Tapi tak mungkin mundur. Lagi pula aku harus cepat ke dalam kapal agar mendapat tempat. Maklum, bertiketkan ekonomi!
Akhirnya aku mendapat tempat di bawah tangga, lumayan nyaman. Aku pun sibuk dengan diriku; sibuk dengan napas yang belum teratur, keringat yang deras, pusing, dan lainnya.
Entah berapa lama aku sibuk dengan diri sendiri. Ketika kupandangi sekeliling, kudapatkan dua gadis itu telah ada tak jauh dariku. Kami saling menyapa lewat senyum dan anggukan.
“Mau mendaki di mana, Mas?” tanya yang satu
Mendaki? Mendaki tangga kapal saja nyaris pingsan! “Ah, tidak, saya mau pulang,” kataku.
Gadis itu memandangi travel bagku. Rupanya ini sumbernya. “Kok membawa travel bag seperti itu?” dia memperjelas.
“Oh, itu! Tadinya memang milik pendaki, Mbak!”
“Maksudnya?”
Aku tersenyum. “Panjang ceritanya, Mbak.” Dia tertarik, terpaksa aku bercerita. Rinto, temanku yang aktivis MAPALA, meremehkan aktivis BEM. Katanya aktivis BEM hebat di mulut tapi lemah di otot. Sebagai Presma, pimpinan BEM, aku tersinggung. Rinto tak ingin berdebat. Dia membawaku ke tempat panjat dinding. “Kalau kau sampai di sana baru kucabut statmenku. Tak hanya itu, travel bagku kuhadiahkan padamu,” katanya sambil menunjuk ke salah satu titik di dinding itu. Cukup tinggi juga, tapi demi nama baik lembaga, kusambut tantangannya. Akhirnya, dengan susah payah, aku sampai juga di titik itu.
“Wah, kalau Presmaku sepertimu, aku mau jadi pengurus BEM,” sambut gadis itu dan tertawa. “Oh ya, kita belum berkenalan.”
Kami berkenalan. Namanya Mirna.
“Jadi kamu Abdullah Syukur yang sering menulis di Koran?” Mirna kaget begitu kusebutkan nama. “Aku senang dengan tulisanmu yang menantang arus.”
“Maksudnya?” aku tak mengerti.
“Tren sekarang kan tentang hantu, kemewahan, kebengisan, dan lainnya. Tulisanmu lain. Lebih banyak mengangkat kaum miskin.”
Aku terkekeh. “Itu karena aku miskin juga,” kataku, terkekeh lagi, walau hidung kembang-kempis juga.
Mirna mendebat. Tulisanku jadi bahan diskusi yang hangat.
“Kamu kuliah di mana?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Di Yogya,” Mirna menyebutkan salah satu kampus di kota pelajar itu. “Oh ya, ini adikku, Sari.”
Aku mengulurkan tangan ke Sari yang dari tadi diam. Sari hanya tersenyum padaku tanpa berkata-kata. Rupanya sifat keduanya bertolak belakang. Aku tak memusingkan.
“Kamu jadi Presiden di mana?” tanya Mirna.
Kusebutkan kampusku. Mirna antusias luar biasa. Ternyata dia anak MAPALA, Mahasiswa Pencinta Alam yang juga sering diplesetkan dengan Mahasiswa Paling Lama. Dia bercerita banyak tentang alam yang pernah dia jelajahi. Dia tahu lebih banyak tempat wisata alam di Malang , tempatku kuliah. Aku baru mengunjungi beberapa, itupun untuk rapat karena teman-teman sulit berkosentrasi kalau rapat di kampus.
“Di sini pengap, Dul. Kita jalan-jalan, yu’,” ajak Mirna.
Aku menatap ragu ke Sari. “Sudah. Jalan saja kalian. Biar saya yang menjaga barang,” kata Sari.
Aku mengangkat bahu dan mengejar Mirna. Walau perempuan namun Mirna luar biasa bersemangat, mungkin karena tempaan di MAPALA. Aku sendiri, rasa pusing saat naik kapal tadi masih membekas.
Kami ke anjungan. Di sini penuh orang, pasti bertiketkan ekonomi juga seperti kami. Setelah berputar-putar di anjungan, akhirnya kami mendapatkan tempat yang agak lapang. Tak jauh dari kami ada rombongan tentara.
Kami melanjutkan obrolan. Kuatnya angin laut memorak-porandakan rambutnya namun dia tak acuh. Dia terus bicara. Dia lebih tahu tentang laut dari aku. Katanya dia sering menyelam di sekitar Bunaken. Aku, heh, ke pinggir Bunaken saja belum pernah.
“Ayo, sambil minum. Aku juga lapar,” katanya langsung berdiri.
Deg! Jantungku berdetak. Ini berarti kami harus ke kafetaria. Kafetaria kapal terkenal mahal. Dompetku menjerit. Kalau salah mengatur, bisa-bisa aku tidak sampai di kampung. Berterus terang rasanya berat. Eh, apa karena dia tahu aku penulis sehingga mengajakku ke kafetaria?
Berstatus penulis memang membanggakan karena cukup dikenal, tentu yang pernah membaca tulisan kita seperti Mirna. Juga meresahkan karena yang kenal kita akan minta traktiran. Di kampus, awalnya surat-suratku di alamatkan ke kampus, termasuk wesel dari media yang menerbitkan tulisanku. Wal hasil, teman-teman minta traktiran. Dipindah ke kostan, lebih parah lagi, kawan-kawanku langsung memanggil penjual bakso yang biasa mangkal tak jauh dari kostan. Akhirnya kusiasati dengan membuka PO.BOX di kantor pos yang tak jauh dari kampus. Mungkin aku pelit, tapi kebutuhan banyak yang tak sebanding dengan kiriman orang tua membuatku harus pelit.
Sekarang, tak ada siasat lain selain berterus terang. Tapi, untuk berterus terang, masih berat.
Setelah melalui perhitungan matang akhirnya kuputuskan untuk menerima ajakannya, membayar apa yang kami makan dan minum, risikonya aku harus makan makanan kapal. Lain kali aku akan berterus terang. Harus bayar sendiri-sendiri!
Kami melanjutkan obrolan di kafetaria. Pikiranku tak bisa berkosentrasi. Aku sibuk menghitung berapa yang harus kubayar. Mirna asal saja memesan. Dia kelaparan. Aku sendiri hanya memesan segelas kopi yang kucicipi pelan-pelan.
“Mbak, tolong bungkuskan, juga buatkan bon!” katanya pada pelayan yang membuatku refleks menatapnya. “Untuk Sari,” ujarnya. Aku hanya mengangguk pasrah.
Pelayan itu datang lagi dengan sebungkus makanan serta selembar bon. Mirna langsung menyambar bon itu. “Biar aku yang bayar,” katanya. Aku membiarkan saja, lagi pula apa yang hendak kuperbuat?
Pembicaraan di anjungan sampai kafetaria itu merupakan pembuka ke diskusi masalah yang lain. Mirna begitu terbuka. Segala hal yang dia alami, dia rasakan, dia inginkan, dia ceritakan padaku. Aku menjadi pendengar yang baik, dan menguraikan pandanganku kalau diminta. Kulakukan karena kuanggap ini balasan atas kebaikannya.
Kuduga Mirna dan Sari sebenarnya anak orang berada. Dugaanku bukan tanpa alasan. Mereka mentraktirku di kafetaria, saat transit, dan lainnya, mulai dari Surabaya sampai Bitung. Entah sudah berapa duit yang mereka keluarkan. Sebenarnya tak enak juga dibayari terus. Beberapa kali kucoba membayar tapi Mirna selalu punya alasan sehingga aku tak perlu mengeluarkan uang. Walhasil, selama diperjalanan uangku tak berkurang.
Trisno jalaran seko kulino, kata orang Jawa, cinta tumbuh karena sering bertemu. Empat hari terombang-ambing di lautan, obrolan yang sering menjurus ke masalah pribadi, dan lainnya memang membuka banyak kemungkinan. Namun aku sudah menutupnya.
Masalah jodoh memang di tangan Tuhan. Aku yakin itu! Tapi, aku tak percaya pada cinta yang datang tiba-tiba. Tiba-tiba bertemu, tiba-tiba merasa jatuh cinta, tiba-tiba cinta terucap, tiba-tiba cinta tersambut, tiba-tiba pacaran, tiba-tiba menikah, tiba-tiba punya anak. Aku tak percayai cinta semacam itu. Karena bisa saja terjadi…tiba-tiba cerai!
Aku mempercayai cinta yang berproses laksana ranting yang mengalir di sungai. Dia akan menghadapi berbagai rintangan tapi akan terus berusaha mengikuti aliran air. Sampai akhirnya menyatu dengan laut. Penyatuan ini yang kukatakan cinta yang sesungguhnya. Berbagai proses hanyalah proses. Dia bukan cinta!
Dan bicara tentang proses, kepulanganku untuk mencari tahu seberapa jauh proses itu. Aku merasa sudah berada di ambang penyatuan, tapi siapa tahu ombak pasang menendangku sehingga harus kembali ke proses awal.
Semoga tidak. Aku yakin itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar