Entri Populer

1. Biang Masalah



Keluarga terbaik menyatu dalam suka dan duka
Kalau tidak maka dia hanya hubungan darah yang tak punya arti apa-apa (Ansy)
AKU masih terpaku di luar rumah itu. Rumah kecil yang belum rampung nampaknya akan roboh sebelum selesai. Kenyataan bahwa rumah itu milik salah satu adiknya Ibuku membuat hatiku miris. Namun bukan itu yang membawaku ke sini.

Bagian depan ruang tamu yang belum didinding membuatku bebas memperhatikan apa yang terjadi di dalam sana. Kulihat dua orang tak kukenal berdiri di sana, keduanya berdebat dengan Oom Adam tapi sama sekali tak berani mendekat. Aryanto menyelempangkan parang di dada, dibelakangnya ada orangtuanya yang ketakutan.
Pendi benar-benar sialan!
Aku aktif di kampung dan sekolah, aku pengurus Remaja Masjid dan Ketua OSIS. Aku memang masih sangat hijau, aktifitaskupun belum seberapa, namun mengurusi dunia kejahatan tetap saja membuatku segan. Dan di sinilah aku, memikirkan cara yang jitu agar kedua orang tak kukenal, yang kuduga polisi berpakaian preman, tidak pergi tapi tetap sopan.
***
Beberapa menit yang lalu, teman-teman menggantungkan harapan padaku. Orang tua Harnum yang petinggi militer ditempatku hendak meliburkan kami ke pulau Dewata, Bali, tapi semua tergantung padaku.
„Tante tahu kalian masih pusing karena Ebtanas, karena itu Tante akan mengajak kalian ke Bali. Tapi itu kalau Uyo’ mau ikut,“ kata Mama Harnum yang langsung meninggalkan kami.
Aku heran. Perhatian orang tua Harnum padaku terkadang berlebihan. Mungkin aku dianggap telah menyelamatkan anak mereka. Dulu, Harnum nakal luar biasa. Dia dipindah dari Jakarta karena menonjok gurunya. Di sinipun kelakukannya sama dan hanya aku yang berani melawan. Beberapa kali kami hampir terlibat adu pisik, namun guru selalu melerai dan meminta dengan sangat agar aku mengalah. Entah apa yang guru-guru takutkan. Aku hampir tak tahan. Aku ingin keluar. Namun Oom Iman memberi jalan. Dia sarankan agar Harnum dijadikan pengurus OSIS di mana aku ketuanya. Kucoba saran Oom Iman dan ternyata dia benar. Harnum sangat aktif di OSIS, bahkan harus kuakui bahwa kegiatan OSIS dapat berjalan berkat dia. Kamipun akrab. Untuk menjaga keakraban, dia kupanggil Nanu’ walau dia sebenarnya bukan dari Bolaang Mongondow. Dia berasal dari Sumatera.
Liburan ke Bali siapa yang tak mau? Namun aku ingin mempermainkan teman-teman.
Aku belum sempat memberikan jawaban ketika telepon berdering. Harnum segera bangkit.
“Dari Mamamu,Yo’,” kata Harnum.
Mengapa Mama menelepon ke sini? Penasaran membuatku tak ingin melayani godaan teman-teman
“Papa Aryanto mau dibawa polisi, Yo’,” suara Mama bergetar.
“Kenapa?”
“Katanya, Pendi membunuh polisi di Doloduo dan Papa Aryanto menyembunyikannya!”
“Astaga!” hanya itu yang keluar dari mulutku.
Tambang emas ilegal di Doloduo memang sumber masalah. Banyak pemalak di sana, mereka membentuk kelompok-kelompok yang disebut “ninja” dan memalak hasil kerja orang. Sering terjadi bentrok antar ninja, akibatnya beberapa orang mati. Menjadi penambang liar di Doloduo adalah pilihan gila. Kita harus siap membunuh atau dibunuh. Itu semua sudah kukatakan pada Pendi sebulan yang lalu, namun Pendi nekad. “Aryanto akan masuk SMA, Kak, Anisa akan ke SMP. Tentu besar biayanya. Hasil kebun tak mungkin cukup,” katanya. Aku tak tahu apa dia tergabung dalam kelompok ninja. Yang pasti dia siap untuk membunuh atau dibunuh.
“Kami bergantung padamu, Yo’. Jangan sampai Papa Aryanto ditahan, bagaimanapun…”
“Iya, Ma,” potongku sebelum diuraikan panjang lebar tentang keharusan membela keluarga. “Akan kupikirkan caranya. Sekarang pulanglah, tahan sebisa mungkin agar mereka tidak membawa Papa Aryanto sebelum aku sampai di sana.”
Telepon ditutup. Aku termangu. Lihat, betapa hebat dirimu, Yo’. Baru saja kau jadi tempat bergantung kawan-kawan, sekarang kau jadi tempat bergantung keluarga.
Ah, apa yang harus kulakukan?
“Ada apa?” Harnum mengagetkan.
“Tidak…tidak apa-apa.” Aku gugup. Bagaimanapun Harnum anak petinggi militer, bukan hanya dia yang tidak senang berteman dengan orang yang sepupunya pembunuh tapi juga orang tuanya, mereka pasti akan membenciku.
Harnum tak bicara. Dia terus memandangku yang membuat-ku jengah. “Oke,” kataku tak tahan. Maka kuulang apa kata Mama.
Harnum berpikir sesaat. “Pulanglah dan sibukan mereka,” katanya dengan nada memerintah.
“Sibukan?”
“Ya, sibukan. Tanya ini-itu, ajak berdebat—kau kan jago berdebat. Kalau kau sulit membuka mulut, ajak bersilat!”
Dalam kondisi normal, tentu aku akan terbahak. Kali ini, tersenyumpun aku tak sanggup.
“Apalagi yang kau tunggu? Kalau Papa Aryanto sudah ditangan polisi, sulit bagi Papaku untuk membebaskan!” bentak Harnum.
“Apa Oom mau membantu?” tanyaku ragu. Aku tak begitu yakin Papa Harnum akan menolong.
Harnum menatapku. “Pergilah. Jangan kau usir mereka walau kau bisa. Tahanlah mereka sampai Papa tiba,” kata Harnum pelan.
Jika begini, tak ada lagi yang perlu kuragukan. Aku segera menemui teman-teman. Mereka diam semua. Mungkin mereka tahu aku punya masalah. Aku berusaha tersenyum.
“Rom, tolong antar saya,” kataku. Teman-teman hanya menatapku tanpa berani bertanya. Disepanjang jalan aku diam, Romi juga.
“Ada yang bisa saya bantu, Yo’?” tanya Romi begitu kami sampai.
Kutahu bantuan apa yang bisa Romi berikan. Dia belajar karate. Namun aku tak butuh jagoan sekarang. “Kau akan kuhubungi kalau aku butuh bantuan,” kataku.
Setelah ganti baju, aku ke rumah Pendi.
***
Aku masih bingung.
Masih kulihat Oom Adam terus berkata-kata sambil menunjuk dua orang di hadapannya yang kuduga polisi berpakaian preman, Aryanto diam tapi dia siap dengan parang, dibelakang Aryanto berlindung orang tuanya. Aryanto tak senakal Pendi, namun aku yakin parang itu akan menebas siapapun yang menyentuh orang yang dicintainya. Mama di sana juga, diam, bingung apa yang mesti dilakukan.
Dua orang di hadapan Oom Adam terlihat pucat. Aku tak tahu caci maki Oom Adam atau parang Aryanto yang mereka takutkan.
Pendi benar-benar sialan. Dia biang masalah. Karena dia aku jadi kebingungan, karena dia keluarga jadi pusing. Di tempatku yang masih menjunjung tinggi pogogalum[i], ikatan darah memang sangat kental. Keluarga akan tetap dibela walau dia salah.
Pendi pun menurutku tak salah. Perbuatan bengalnya sebenarnya karena keluarga. Lumpur kemiskinan yang melumuri keluarganya membuatnya bengal dan nekad. Kelas 5 Sekolah Dasar dia meninju Kepala Sekolah yang menagih iuran karena dia yakin orang tuanya tak punya uang. Dia pun keluar sekolah dan menjadi anak jalanan bersama preman-preman kampungan.
Tiga minggu yang lalu dia bilang padaku hendak mengadu nasib, mencari emas di pertambangan rakyat illegal di Dumoga. Namanya juga pertambangan illegal, di sana yang berlaku hukum alam, siapa yang kuat dia yang berkuasa. Perang parang di lokasi pertambangan illegal itu sampai menelan korban sudah sering kami dengar. Ini yang membuatku kurang setuju dia menambang, apalagi dia masih terlalu muda untuk kesana.
“Saya akan tetap ke sana, Kak. Sebentar lagi Anto masuk SMA, Anti akan masuk SMP. Papa tak mungkin mampu membiayai dan aku tak ingin sekolah mereka terputus ditengah jalan sepertiku,” katanya.
Aku terdiam mendengarnya. Aku tak berkata apa-apa lagi.
***
Sekarang, aku masih terdiam melihat apa yang terjadi di dalam rumah itu, mencoba memikirkan cara agar kedua polisi berpakaian preman itu tidak menahan orang tua Pendi tapi juga tidak lari.
***
Motoboi Kecil, 12 Juni 2010



[i] Pogogalum: Kekerabatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar