Entri Populer

1. Bebas2



Kak Juanda, begitu kami biasa memanggil orang yang menjemputku itu, satu kampung denganku namun sudah lama berada di Jakarta. Mungkin sudah tujuh atau delapan tahun. Kalau dia pulang akan sangat jarang berada di rumah. Bersama Oom Iman dia selalu berjalan mengelilingi Bolaang Mongondow, entah ke mana dan ke siapa saja. Namun dia selalu menyempatkan bertemu dengan kami, anak muda yang akan lulus SMA. Tahun lalu dia pulang dan bicara lama dengan kami tentang pentingnya merantau dan membangun daerah. Entah mengapa aku lupa menjadikan dia sebagai contoh perantau ke Jawa yang sukses saat berdebat dengan papa.

Kesuksesan Kak Juanda, menurut cerita yang kudengar, adalah dari segi organisasi. Saat mahasiswa dia menjadi pimpinan salah satu organsiasi mahasiswa ekstra kampus, kerennya disebut omek, yang cukup disegani. Sekarang dia menjadi pimpinan daerah organisasi kepemudaan yang sangat diperhitungkan.
Dari Periuk, dia sengaja mencegat taksi karena barang yang kubawa banyak. Hutan beton dengan bangunan menjulang terhampar di mana-mana. Ah, alangkah hebat Jakarta, ibu kota negaraku. Kapan daerahku bisa seperti ini? Perlahan muncul rasa iri dalam hatiku. Iri yang positif. Aku tak ingin apa yang sudah dibangun di sini rusak sehingga sama mundurnya dengan daerahku. Namun, aku mau daerahku seperti ibu kota Negara ini juga.
Setelah beberapa saat dalam perjalanan, akhirnya mobil berhenti di sebuah rumah di wilayah Jati-negara. Teriakan-teriakan dari dalam rumah terdengar sampai di jalan. Tempat apa ini? Dari plang di depan rumah dapat kuketahui bahwa rumah itu adalah kesekretariatan salah satu organisasi kepemudaan.
Setelah membayar taksi, aku dibimbing Kak Juanda masuk. Di dalam, suasana benar-benar hingar-bingar. Tak kurang sepuluh orang berdebat di dalam rumah. Kak Juanda menyuruh mereka mengangkat barang-barang bawaanku yang lain. Kemudian aku diperkenalkan sebagai adik oleh Kak Juanda. Kukira ini adalah markas organisasi kepemudaan di mana Kak Juanda jadi pimpinannya seperti yang sering disebut-sebut orang kampung. Dan kami hanya istirahat sebentar di sini sebelum melanjutkan ke tempat tinggal Kak Juanda yang sesungguhnya. Sebagai pimpinan organisasi kepemudaan yang disegani, tempat tinggal Kak Juanda tentu lebih baik daripada rumah yang tak ubahnya pasar ini.
Ternyata tidak.
Aku di bawa ke kamar yang agak kecil, ukurannya mungkin 3 x 3.
“Istirahat dulu kalau kau capek,” kata Kak Juanda dan langsung meninggalkanku.
Lama-lama aku tahu bahwa kami tak hanya istirahat di sini melainkan memang di sinilah Kak Juanda tinggal.
ÏG
Tinggal di kesekretariatan organisasi kepemudaan sungguh luar biasa. Luar biasa padat, luar biasa ribut, luar biasa gaduh, luar biasa sibuk. Kata Kak Juanda, di dalam aturan, yang berhak tinggal hanya pengurus. Tapi yang kulihat, kesekretariatan itu tak ubahnya rumah singgah yang tidak pernah tidur. Orang datang dan pergi. Rapat dan diskusi tak pernah berhenti.
Awalnya aku tak betah. Tapi, lama-lama terbiasa juga. Bahkan aku tenggelam dalam berbagai aktifitas di dalamnya. Aku asyik. Aku merasa inilah duniaku: dunia aktivis!
Dalam dunia aktivis, aku merasakan napas kebebasan yang sebenarnya. Pengakuan terhadap individu benar-benar ada. Umur bukan keunggulan untuk mendominasi. Memang ada yang memaksakan kehendak tapi tak separah papa.
Ah, entah mengapa kalau bicara tentang kebebasan aku akan selalu teringat pada papa. Aku mungkin termasuk anak yang tak berbakti karena selalu memojokan beliau. Namun, begitulah kenyataan yang kurasakan. Selama ini, yang kurasakan, papa berlaku seperti raja; segala kehendaknya adalah sabda, tak boleh dibantah, apalagi ditolak.
Aku tak membenci papa. Bagaimanapun, darah yang mengalir dalam tubuhku adalah darahnya juga. Namun aku tak senang dengan sifatnya. Dan di sini, di Jawa, di tanah kebebasan, dengan caraku sendiri, aku akan melawan sifatnya yang tak kusenangi itu.
Jangan katakan aku durhaka. Aku belum dan tak ingin sejauh itu!
ÏG
Pertengahan 1994 ini, sekretariat benar-benar sibuk. Macam-macam tema didiskusikan, berbagai isu disambut dengan demonstrasi. Aku ikut-ikutan sibuk yang tentu kesibukanku tak sepadat kesibukan Kak Juanda. Kak Juanda sibuk luar biasa. Dia ke sana-kemari, mengunjungi berbagai tokoh dan berbagai kelompok pemuda. Beberapa kali aku diajak olehnya namun tenagaku belum bisa menandinginya.
Pada suatu hari, entah hari yang ke berapa atau minggu ke berapa aku di Jakarta—aku sungguh-sungguh sudah lupa, kesibukan tak begitu seberapa. Aku berbaring dengan malas di kamar. Kamar kecil ini tetap panas walau kipas angin dihidupkan terus. Khas Jakarta. Beberapa saat kemudian datang Kak Juanda.
“Kamu memilih PTN mana?” Kak Juanda mengingatkan.
Aku menggaruk kepala. Lihatlah. Karena sibuk, sampai-sampai tujuan utamaku ke Jawa, yaitu untuk kuliah, terlupakan. Namun ini tak boleh kuperlihatkan agar Kak Juanda tak membatasiku ikut aktifitas organisasinya.
“Belum, Kak. Saya masih berpikir,” jawabku seolah aku benar-benar berpikir tentang tempat kuliahku selama ini.
“UI pantas untukmu.” Kak Juanda melemparkan kemejanya ke wadah pakaian kotor. “Kamu tinggal mempertajam sedikit kecerdasan Sampaka untuk ke sana.”
Aku menarik napas. Keluarga besar Sampaka sudah terkenal kecerdasannya, banyak yang meyakini bahwa kecerdasan ini menurun. Dan memang hampir semua keluarga besar Sampaka telah teruji kecerdas-annya, termasuk diriku. Tapi aku merasa belum termasuk Sampaka kalau fam Abidin belum kuganti.
“Aku bukan Sampaka, aku Abidin” elakku, kecewa.
“Fam tidak, tapi darahmu darah Sampaka. Lihatlah prestasimu di sekolah yang sama dengan anggota keluarga Sampaka lainnya. Dan kalau kamu ingin sedikit menguatkannya, aku akan mengantarmu ke lembaga pendidikan yang menyelenggarakan try out UMPTN. Ingat, Min, walau fammu bukan Sampaka namun orangtuamu tetap ingin kamu seperti keluarga Sampaka yang lain. Papamu bolak-balik memintaku agar membimbingmu masuk kampus negeri. Aku memang tak akan membimbingmu karena orang sepertiku tak layak membimbing. Tapi kamu harus masuk kampus negeri!”
Aku terkekeh. Ternyata, walau tak ingin berfam Sampaka namun papa tetap ingin diakui sebagai keluarga yang cerdas. Mungkin saja papa ingin mengukir sejarah sendiri seperti Papa Rusman yang telah mempopulerkan fam Sampaka.
Kekehku berganti dengan senyum jahat. Selama ini aku selalu mengikuti keinginan papa. Tapi sekarang, aku di rantau. Aku bebas. Orang tuaku tak berhak mengatur lagi!
Kegiatan di organisasi Kak Juanda semakin padat. Dan aku ikut-ikutan sibuk. UMPTN berlangsung. Aku tidak ikut. Kak Juanda yang luar biasa sibuk baru sadar ketika UMPTN berakhir. Dia bingung dan minta penjelasanku.
Apa yang harus dijelaskan? Jelas aku tak ikut UMPTN bertujuan untuk menentang papa. Namun itu tak mungkin kukatakan pada Kak Juanda.
“Sudahlah, Kak. Sekali-kali papa harus kecewa. Toh famku bukan Sampaka,” kataku enteng.
Kak Juanda hanya menggeleng.
ÏG
Kuminta Kak Juanda memberitahukan kampus swasta terbaik di Jakarta namun Kak Juanda tak kunjung bilang. Aku panik. Tak lama lagi pendaftaran ditutup. Aku menuntut.
“Kamu ingin bebas dari kekangan bapakmu, kenapa sekarang kau mau masuk dalam belengguku?” kata Kak Juanda.
Benar juga, pikirku. Tadinya aku dibelenggu paksa, sekarang minta dibelenggu; di mana kebebasannya? Akhirnya, ketika kegiatan tak begitu padat, aku memberanikan diri minta diantar ke kampus-kampus di Jakarta.
Kampus di Jakarta tidak banyak, tapi dengan jalan berliku-liku dan macet, juga penyambung kaki yang hanya bis, bukan ide yang baik untuk mencari dengan selektif. Untung aku langsung jatuh cinta pada kampus yang pertama kami kunjungi sehingga ke kampus lain hanya sepintas saja. Menjelang sore, semua kampus sudah kami datangi.
ÏG
Sedan hijau tua itu diparkir tepat di depan sekretariat. Dengan berbagai peristiwa yang memojokan penguasa diakhir tahun 1994, orang yang merasa aktivis patut hati-hati kalau ada mobil hijau tua semacam ini. Jangan-jangan aparat yang menjemput aktivis. Aku was-was. Aku belum jadi mahasiswa, tak lucu kalau langsung di kerangkeng.
“Wah, kita akan ditangkap rupanya,” kataku sok tahu.
“Ah, tidak. Yang datang ini orang mulia, tidak berpihak pada kita memang, tapi dia tak akan menangkap kita,” kata Kak Juanda.
“Semulia apa orang itu?” tanyaku.
“Luar biasa mulia. Karena luar biasanya, aku menganggapnya tak mulia lagi.”
“Siapa?”
“Mayor Isnaeni!”
“Siapa dia? Aku belum pernah mendengar!”
“Dia orang daerah kita juga. Orang-orang memperhitungkan dia akan mengikuti jejak Jendral Mokoginta!”
Mengikuti jejak Jendral Mokoginta? Letnan Jendral (Pur) Mokoginta adalah putra daerah kami yang namanya sudah menasional. Seluarbiasa itukah orang yang datang ini? “Siapa?” aku semakin penasaran.
“Papa Rahim!”
“Oh!” Hanya itu yang terucap dari bibirku. Rupanya orang yang diminta papa menjemput di pelabuhan. Apa dia datang untuk menjemputku? “Kata papa dia baru Kapten?”
“Baru saja jadi Mayor,” kata Kak Juanda. “Ayo kita temui dia. Jangan sampai dia marah dan menciduk salah satu anggota kita.”
Kamipun masuk. Kesekretariatan sepi seperti kuburan. Yang ada hanya seorang berambut cepak berseragam militer. Perawakannya tinggi besar. Masih muda. Mungkin tiga puluh tahun lebih sedikit. Inikah Mayor Isnaeni? Kalau semuda ini sudah Mayor, wajar kalau orang-orang memperhitungkan dia akan mengikuti jejak Jendral Mokoginta.
“Wah, baru beberapa hari di Jakarta tapi kamu sudah jadi orang Betawi rupanya.”
Aku tahu itu sindiran. Kebiasaan dalam masyarakat kami, ketika kita datang dari tempat yang jauh, kita harus mendatangi orang-orang yang dipandang sebagai tokoh. Tak bisa kau langsung jalan sendiri seperti aku ini.
“Maaf, belum sempat ke rumah Papa Rahim,” kataku merendah.
“Belum sempat? Kenapa? Sibuk demo?”
Terasa sekali kesinisan dari kata-kata Papa Rahim. Aku melihat ke Kak Juanda. Dia mencibir samar, sangat lucu. Rupanya Kak Juanda dan Papa Rahim tidak cocok. Wajar. Aktivis dan tentara.
“Kamu harus tidur di tempat yang benar-benar rumah, Min.” Akhirnya Papa Rahim mengutarakan maksud kedatangannya. “Kamu juga, Ju.”
Kak Juanda hanya tersenyum.
ÏG
Rumah Papa Rahim ternyata besar. Aku tak kaget. Dalam berbagai diskusi di sekretariat kutahu institusi ABRI berbisnis, juga individunya. Penghasilan mereka di bisnis lebih besar daripada gaji mereka. Di daerah, aku sering mendengar oknum ABRI membekingi penambang dan penebang liar. Yang membuatku kaget, rumah Mayor Isnaeni ternyata tidak jauh dari kampus pilihanku. Ini yang membuatku tak memberitahukan kampus pilihanku walau didesak.
“Kamu jangan mendengarkan Juanda. Lihat yang terjadi padamu. Kamu gagal masuk UI. Orang tuamu malu. Coba dari awal kamu di sini. Papamu minta aku mengurusmu. Dia tak ingin kamu gagal lagi karena bergaul dengan Juanda. Juanda itu berbahaya, Min. Aktifitasnya mengganggu stabilitas keamanan, sudah mengarah ke subversif. Dia bolak-balik masuk tahanan. Kalau tidak aku, dia pasti sudah meringkuk di penjara puluhan tahun lamanya. Aku sudah sering mengingatkan, tapi dia keras kepala. Lihatlah, suatu saat dia akan kena batunya. Aku tak ingin kamu seperti dia. Apalagi orangtuamu memintaku bertanggungjawab atas dirimu.”
Malam itu aku harus mendengarkan kejelekan Kak Juanda, juga paksaan halus agar aku masuk kampus yang tak jauh dari rumah Mayor Isnaeni dan tinggal di rumah itu.
Soal kejelekan Kak Juanda, hanya gosip bagiku; masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Tapi kampus, ini yang kupikirkan. Aku ingin masuk kampus pilihaku, tapi tinggal di rumah Papa Rahim, nanti dulu. Andai ada jalan keluar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar