Di akhirat, amal perbuatan yang membedakan manusia. Di dunia, harta dan kedudukan pembedanya. Lalu, kapan manusia sama? (Ansy)
Seperti biasa, Arum bangun menjelang subuh. Ibu dan tiga adiknya juga. Setelah sholat, dia membantu ibunya di dapur. Mempersiapkan segalanya. Tak seperti kemarin-kemarin, kali ini dia santai. Kenapa buru-buru? Dia bukan siswa lagi walau belum menerima ijazah dan memang harus ke sekolah untuk mengantar kue buatan ibunya yang dititipkan di kantin sekolah.
Setelah semua siap, dia malah duduk santai di ruang tamu sambil menikmati teh. Ketiga adiknya pamit ke sekolah. Pada jam begini, yang ada hanya angkutan ke pasar. Sejak SMP dia naik angkutan itu, bersama para pedagang miskin dan barang dagangan mereka. Kalau menunggu angkutan yang sebenarnya akan terlambat. Namun, kali ini Arum ogah bercampur dengan bau para pedagang dan barang bawaannya.
Sambil menikmati teh, pikirannya menerawang. Dua belas tahun di sekolah, dia belum terkalahkan. Namun sekaranglah dia harus menghadapi kenyataan. Dia bukan sekadar kalah, tapi tak bisa bertanding lagi. Rupiah membuat dirinya tak bisa kuliah.
Dua belas tahun di sekolah, dirinya adalah bintang. Namun semua itu hanya untuk dikenang. Bagus kalau dia masih punya waktu untuk mengenang. Arum tahu, dia bukan pemilik sekian perusahaan yang mengetahui waktupun tak sempat. Tapi, keharusan untuk hidup bagi orang semiskin dirinya membuat sang waktu akan lari tanpa bisa dikenali.
Dua belas tahun, hanya itu waktunya untuk diperhitungkan. Empat tahun lagi, mungkin lima atau enam, kawan-kawannya yang tak secerdas dirinya namun punya rupiah akan bersinar. Mereka akan kuliah, meniti karir sampai dipuncak, dan ketika mereka di atas sana , mereka akan melihatnya di bawah, beserta sampah-sampah.
Terkadang Arum merasa Tuhan tak pernah memberi mukjizat pada yang miskin. Dengan berbagai keterbatasan—uang dan gizi yang kurang—mungkin kecerdasannya merupakan mukizat. Tapi itu hanya sesaat. Dua belas tahun!
Ah, andai bapak masih hidup.
Saat bapaknya masih ada, hidup mereka tak begitu susah. Ketrampilan bapaknya sebagai tukang bangunan cukup menghasilkan. Namun, suatu ketika, ketika mengerjakan proyek besar di Surabaya , ketrampilan bapaknya itu tidak terpakai. Seorang Insinyur bangunan yang lebih banyak didengar. Bapaknya hanya buruh bangunan biasa. Naas. Bapaknya sudah bilang bahwa bahan-bahan untuk bangunan untuk gedung bertingkat itu kurang namun si Insinyur ngeyel. Dan begitulah nasib menentukan. Ketika tingkat ketiga di bangun, tiba-tiba saja bangunan itu ambruk. Bapaknya Arum yang berada di tingkat dasar tertimpa bangunan dan meninggal di tempat. Si Insinyur tak pernah diberi hukuman, juga bapaknya Arum tak pernah diberi santunan.
Ah, andai…
Astagfirullah…
Arum seperti tersadar. Dia tersenyum patah. Berandai-andai tidak baik bagi kesehatan jiwa. Juga mendekatkan pada neraka. Neraka dunia dan akherat. Lebih baik menghadapi kenyataan!
Dia bangkit, mengambil keranjang kue, dan mencegat angkutan di depan rumah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar