Entri Populer

Pertemuan



2

Masyarakat terbiasa Mencaci penjahat dan memuji kemuliaan karena mereka yang membuat penjahat dan orang mulia
(Ansy)
Kapal yang kutumpangi melebihi pasar, penumpang bertebaran di mana-mana—di lorong, di bawah tangga, di ruangan-ruangan. Ranjang panjang yang ditiduri lebih sepuluh orang sudah penuh dengan penumpang dari Ternate atau sudah dipesan orang walau belum ditempati. Sulit mendapat tempat. Aku baru mendapat tempat di ranjang panjang itu ketika ada yang turun di Pantoloan.

Akhirnya sampai juga. Dari anjungan, angkuhnya hutan Jakarta terlihat. Aku tak kagum, apalagi bangga. Melihat ibu kota Negara yang sangat berbeda dengan Kotamobagu, ibu kota kabupatenku, aku bisa membenarkan Permesta. Pembangunan di Negara beragam ini memang timpang.
Kualihkan pandangan ke bawah. Mana Amin? Dia janji akan menjemput tapi sosoknya tak terlihat.
“Hei, kau, kembalikan!”
Aku kaget dan berbalik, seorang yang sudah agak tua dicengkeram kerahnya oleh seorang anak muda. Dari pakaiannya, jelas mereka buruh pengangkut barang penumpang.
“Ayo, kembalikan!”
Wajah yang tua digampar yang muda. Aku baru sadar ketika orang itu mengembalikan dompetku.
“Ke mana kau? Ayo minta maaf!” bentak yang muda.
“E, maaf, Bang,” yang tua memelas padaku.
Aku bengong, aku belum sadar betul apa yang terjadi di depanku. Lagi pula, sepertinya ada yang aneh dengan suara anak muda ini.
“Sekarang, kau turunkan barang abang ini. Awas kalau kau minta bayaran!” yang muda masih galak.
“Tapi, Bang…”
“Siapa suruh lu nyolong!”
“Eh, sebentar, eh, Bang,” terbata aku mencegah yang muda itu pergi. “Eh, siapa namamu?”
Orang itu menatapku sebentar, tertunduk, kemudian marah pada temannya: “Apa lagi yang kau tunggu? Tanya pada abang ini barangnya dan turunkan. Cepat!”
Setelah itu dia buru-buru pergi. Aku tak bisa mencegah. Aku bengong.
“Hei, Bang, di mana barang-barangmu? Ayo cepat, gua harus nyetor! Sialan!”
“E, begini, Nyong…”
“Nyong? Memangnya mulut gua monyong? Gua Somat. Ingat: S-o-m-a-t!”
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Nyong sebenarnya panggilan untuk pemuda Sulawesi Utara, sama dengan abang, tapi di rantau begini bisa menimbulkan salah pengertian.
“Saya Salman tapi biasa dipanggil Uyo’.”
“Ucok?”
“Aku orang Mongondow, Mat, jadi dipanggil Uyo’, kalau Ucok untuk orang Sumatera,” aku menjelaskan.
“Mongondow?”
“Itu suku di Sulawesi Utara. Ah, sudahlah. Siapa temanmu tadi?” aku kelabakan.
“Itu bos gua.”
“Maksudku, namanya. Awas, jangan bohong. Akan kuadukan kalau kamu bohong.”
“Kami diminta memanggilnya Antong,” Somat ragu-ragu.
Aku tersenyum. Walau dipelarian namun Pendi masih meninggalkan jejak. Antong merupakan legenda dalam masyarakat Bolaang Mongondow. Antong adalah Bogani yang kuat dan tampan, sampai-sampai putri Spanyol senang padanya dan membawanya ke negeri Andalusia itu untuk dinikahi di hadapan raja/ratunya.
Barang kami turunkan. Somat kuat luar biasa. Dari semua barang, aku hanya menjinjing koper pakaian.
“Berapa semua, Mat?” tanyaku.
“Bang Antong kan sudah bilang gratis,” kata Somat tak senang.
“Aku akan membayarmu, tapi kamu harus memanggil Antong ke sini. Katakan saja, Uyo’ yang memanggil.”
“Memang lu apanya, seenaknya saja menyuruh memanggil!”
“Lakukanlah, Mat.”
Tanpa bicara lagi Somat pergi.
Aku sangat yakin Antong adalah Pendi. Kulitnya memang sudah jadi legam tapi mimiknya masih mimik Pendi, begitu juga suaranya.
Para calo bis mengerumuniku, menanyakan ke mana tujuanku. Kubilang masih menunggu teman tapi calo-calo itu tak mau menyerah. Yang satu pergi, dua datang dengan pertanyaan yang sama. Aku bosan. Akhirnya aku diam tapi mataku mengawasi barang-barang.
Agak lama juga menunggu baru Antong datang. Beberapa calo yang mengerumuniku menyingkir begitu melihatnya.
“Saya Pendi, Kak,” katanya, terisak dan langsung memelukku.
“Iya, Nding, saya tahu,” aku terisak juga.
Setelah beberapa lama berbagi keharuan, aku melepaskan pelukan.
“Kamu sudah jadi hitam sehingga sulit kukenali,” kataku bergurau.
“Jakarta bisa membuat kita jadi hitam, Kak.”
“Asal hatimu tidak!” Pendi terdiam. Aku merasa bersalah telah kelepasan omong. Aku seharusnya tahu seperti apa dunia Pendi sekarang dan aku harus mengerti, minimal memaklumi. Orang tak bersalah seperti Pendi tapi berusaha lari dari hukuman, apa masih ada pilihan lain selain bergerilya?
“Tentu Kak Uyo’ bukan ingin jadi buruh pelabuhan, kan?” Pendi mengalihkan pembicaraan.
Aku tersenyum. “Aku disuruh Papa kuliah. Katanya Amin mau menjemput tapi sampai sekarang belum datang juga.”
“Mungkin di tengah penjemput tapi tak usah dicari. Malam ini Kak Uyo’ harus tidur di tempatku. Kak Uyo’ punya nomor telepon Amin, Kan?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu ditelepon saja, katakan padanya kakak diminta menginap di rumah teman sekapal. Besok Kak Uyo’ akan saya antar. Kita perlu bicara banyak, Kak.”
Aku kembali melihat kesedihan di raut muka Pendi. Aku ikut saja.
Aku menelepon Amin tapi kata yang menerima Amin sedang keluar. Aku hanya menitipkan pesan.
“Kak Uyo’ mau menginap di mana? di kosanku yang sempit atau di rumah bosku? Di sana luas, Kak. Rumahnya juga megah. Namanya juga rumah bos!” kata Pendi, ada senyum hambar saat mengatakan semua itu.
“Kamu masih punya bos juga?” aku tertarik.
“Masih, Kak. Dia juga punya bos, bosnya punya bos, dan seterusnya. Dunia yang kumasuki ini penuh bos.”
Aku tersenyum. “Di kosanmu saja. Baru bertemu anak buahmu aku sudah menggigil, apalagi dengan bosmu.”
Pendi terkekeh.
“Alah, Somat itu ndak ada apa-apanya, Kak, cuma menang digertak. Kalau dia sendirian dan digertak balik, dia pasti lari.”
Kosan Pendi sempit dan pengap. Tak jauh dari pelabuhan. Di sana hanya ada kamar mandi tapi wc tak ada. Aku harus antri di wc umum untuk buang air besar.
Sehari semalam Pendi menceritakan kisahnya. Mulai dari perkelahian dengan kelompok penambang liar lain yang dibekingi Kopral Sarbini di Doloduo, ke Jawa lewat kapal barang, jadi buruh kapal barang, dan akhirnya jadi buruh di kapal penumpang. Pendi juga menceritakan perkelahiannya dengan bos para buruh kapal penumpang yang akhirnya membuat dia jadi bos.
Aku terdiam mendengar kisah Pendi. Luar biasa. Di usianya yang masih belia Pendi sudah jadi bos di pelabuhan Tanjung Periuk, bagaimana besarnya?
“Sebaiknya kamu pulang, Nding. Polisi tak akan mencarimu karena setelah diselidiki ternyata polisi itu menjadi beking kelompok ninja yang merampok kelompokmu. Terbunuhnya dia bisa dianggap pembelaan diri. Kau bisa bebas.”
“Dunia nyata aneh, Kak. Lain kata, lain perbuatan. Sarbini bilang kami bisa menambang bebas sepanjang kami berbagi dengannya. Tapi dia ingin lebih. Akhirnya dia mampus. Mungkin aku akan menyusulnya kalau pulang. Aku tak bisa mempercayai kata-kata mereka!”
“Papa Harnum akan melindungimu.”
“Siapa dia?”
“Tentara. Papa temanku. Dia punya pangkat!”
Pendi memandangku, menggeleng, seakan menunjukku tak mengerti tapi sok tahu. “Kalau saya pulang, agar bisa aman, beberapa orang harus saya bunuh. Kalau tidak, pasti mereka yang akan membunuhku!”
“Polisi?”
“Ya, beberapa polisi, beberapa tentara, beberapa orang biasa seperti saya. Sarbini teman mereka, Kak. Aku telah membunuhnya. Dalam dunia seperti ini, darah akan berbalas darah. Lagi pula, berapa lama Papa Harnum akan bertugas di sana? Aceh bergolak, Timor Timur, Papua. Atau, mungkin juga Papa Harnum mendapat kenaikan pangkat dan dipindah entah ke mana. Tentara selalu berpindah-pindah, Kak. Polisi juga. Mereka bisa melindungi atau merampok di satu tempat, kemudian pindah. Apa peduli mereka? Toh tetap digaji Negara. Tinggalah orang yang dilindungi kebingungan, memikirkan cara menyelamatkan diri.”
Aku terdiam. Pendi sudah merasakan pahitnya hidup di dunia nyata, orang yang belum merasakan tak berhak bicara. “Orang tuamu cemas. Papamu bahkan minta diadakan harua, beliau mengira kamu sudah meninggal.”
Pendi tersenyum mengejek, mengejek dirinya sendiri. “Bagus kalau papa mengadakan harua. Sejak Sarbini mampus, aku sudah jadi mayat hidup. Di sana nyawaku digenggaman teman-teman Sarbini dan teman-temanku juga…”
“Teman-temanmu yang mana?” aku kaget.
“Antoni dan kawan-kawan, kelompok ninja di mana aku bergabung.”
“Begitukah?” aku belum mengerti.
“Darah sudah mengalir, Kak. Dan kawan-kawan Sarbini ingin darah juga atau Antoni harus membayar mahal. Antoni harus memilih, membunuhku dan harga nyawa Sarbini agak diturunkan atau aku hidup tapi mereka harus membayar penuh. Untung Antoni tak begitu percaya pada polisi. Dia yakin, walau aku mati, mereka akan tetap ditangkap atau membayar lebih—siapapun tahu bukan hanya aku yang menghabisi Sarbini.”
Di luar terdengar suara genit perempuan murahan menjajakan diri.
“Aku mayat hidup, Kak. Di sana, semua orang mengincar nyawaku. Di sini juga begitu. Aku tak tahu siapa yang diberi kehormatan Tuhan. Aku pasrah pada takdir, tapi aku tak akan menyerah pada mereka!”
Aku menarik napas dalam-dalam. Di dunia Pendi, kawan benar-benar tak ada.
“Kamu bisa keluar dari duniamu ini, Nding. Duniamu ini…ah, entah aku harus mengatakan apa.”
“Biarlah begini untuk saat ini, Kak. Semoga Kak Uyo’ menjadi orang dan bisa melindungiku dari musuh-musuhku. Tentu bukan melindungiku kalau aku salah. Aku siap mempertanggungjawabkan perbuatanku. Aku siap dipenjara. Tapi aku tidak siap menyerahkan nyawaku pada bajingan-bajingan itu.”
Aku menganggukan kepala. Kemudian aku tersenyum. “Berapa umurmu?”
Pendi menangkap lelucon dari pertanyaan itu. “Anak buahku ada yang umurnya empat puluh!” katanya dan terbahak.
TTT
Besoknya aku diantar Pendi ke Amin memakai mobil pribadi yang menurut Pendi milik bosnya. Ternyata Amin tinggal di asrama di dalam kampus. Pendi tidak mau turun begitu kami sampai. Padaku, Pendi memesankan agar tidak memberitahukan keberadaannya pada siapapun. Pada siapapun berarti termasuk pada orang tuanya. Aku hanya mengangguk tanpa bertanya. Orang yang hidup di dunia lain seperti Pendi sikapnya tak perlu dipertanyakan.
“Itu temanmu di kapal?” tanya Amin, rupanya dia sudah menunggu.
Aku tersenyum, nyaris terkekeh. “Yang jelas dia yang mengantarku.”
“Kalau tahu kamu bersenang-senang, aku tak akan menunggumu,” balas Amin.
Amin memperkenalkanku pada penghuni asrama, jenis manusia-manusia yang sibuk dengan berbagai aktivitas. Menurut penuturannya, Amin telah menjadi ketua senat di fakultasnya. Aku heran pada Amin. Kalau benar dia ingin melepaskan diri dari belenggu Papanya, seharusnya dia beraktivitas di luar kampus. Bagaimanapun kampus tetap sama dengan sekolah, dengan aturan yang membelenggu warganya. Bagaimana bisa bebas?
“Kamu akan kuliah di mana?” tanya Amin setelah kangen-kangenan dan cerita tentang kampung bosan dibicarakan.
“Di IPB,” kataku.
“Orang sepertimu kok masuk IPB. Ingat impian Papa Rus, Sampaka harus ada yang jadi bupati.”
Respon yang sudah kuduga, namun kalau kujawab serius akan jadi perdebatan tanpa henti. Maka, kujawab tak acuh. “Daerah kita lumbung pertanian. Tapi lihatlah pertanian kita ketika bupatinya Sarjana Politik. Gunung digali penambang liar dibiarkan saja padahal ada tanamannya.”
“Kalau kamu mau jadi Sarjana Pertanian, mengapa tak mengambil sekolah pertanian?” semprot Amin.
“Masak tamatan sekolah pertanian jadi bupati?”
Amin menyerah. “Kalau begitu, sebaiknya kamu ke Bogor. Aku punya teman di sana, dia yang akan membantumu masuk IPB. Tapi ingat, jangan masuk de tiga seperti dia. Kalau tak bisa masuk IPB, ambil swasta saja. Swasta juga tak jauh beda kualitasnya dengan negeri.”
Aku ingin tertawa tapi cemas Amin tersinggung. Menurut koar orang tuanya, Amin akan masuk Universitas Indonesia. Nyatanya Amin gagal. Amin hanya kuliah di kampus swasta walau mentereng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar