2
Kasak Kusuk
Dalam keadaan perang
Sehelai rambut sebanding dengan seutas tampar
Sehingga banyak orang yang berubah jadi binatang
Walau mereka beragama
(Auda)
Organisasi mahasiswa mirip dengan organisasi siswa. Di sini juga terdapat ketua kelas yang biasa di sebut komti—komandan tingkat—kelas. Saat pemilihan, aku sama sekali tidak berminat. Walau di sini tantangannya agak berbeda, namun aku tak ingin mencoba. Aku sudah pernah menjabat ketua OSIS, menjadi ketua kelas berarti penurunan. Tapi, saat pemilihan ketua angkatan, aku baru bersemangat. Ketua angkatan akan mewakili aspirasi dua ratus lebih mahasiswa angkatan 94, akan mewakili empat kelas di Fisip. Aku ingin mencoba tantangan yang pertama ini.
Dalam pemilihan yang cukup demokratis, aku terpilih. Sebagai ketua angkatan, aku berhak duduk di BPMF (Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas). Di sinilah aku mengawali karirku sebagai aktivis intra.
Kedudukanku sebagai anggota BPMF membuka tempat bagiku untuk tinggal di asrama. Asrama itu hanya bangunan tiga tingkat dan sudah sangat kusam, kurang terawat. Tapi dia menjadi monumental karena di dalamnya berisi aktivis mahasiswa dengan pemikiran-pemikiran serta tindakan yang di pandang cemerlang. Menurut legenda, di asrama inilah beberapa birokrat dan politisi kebanggaan universitas membentuk dirinya. Hampir semua keluaran asrama berhasil.
Menjadi penghuni asrama memang membang-gakan, tapi bukan itu yang kuinginkan. Bebas dari radar Mayor Isnaeni yang membuatku tinggal.
Di asrama, aku bertemu lagi dengan Budi dan Simon. Kami langsung akrab. Bahkan Budi yang menjadi lawan kelompokku saat ospek memuji argumen serta kekompakan di kelompokku.
Keduanya sering menasehatiku. Tapi yang paling mengesankan adalah pandangan mereka tentang kebebasan berpikir, kebebasan mengemukakan pendapat dan berbagai bentuk kebebasan bertanggung jawab.
ÏG
Keanggotaanku di BPMF hanya satu semester, di semester satu. Keanggotaanku ini sebenarnya tidak terlalu penting. Menurutku, aku hanya comotan. Anggota BPMF sepuluh orang. Enam orang dipilih, sedangkan empat orang merupakan perwakilan angkatan. Aku termasuk perwakilan angkatan. Memang untuk menjadi wakil angkatan juga dilakukan pemilihan, tapi kurang seru karena hanya dipilih oleh mahasiswa di angkatanku. Akan berbeda ketika aku dipilih seluruh mahasiswa Fisip. Ini juga yang membuatku kurang proaktif memperjuangkan pemikiranku.
Mendekati pemilwa raya, para aktivis sibuk. Di tingkat universitas, beberapa melakukan kampanye agar bisa menduduki kursi ketua SMPT. Yang lainnya berusaha menggapai kursi BPMU. Di tingkat Fakultas, ada yang berjuang mengincar kursi ketua Sefa. Semua itu jabatan bergengsi karena menjadi simbol mahasiswa. Untuk kursi BPMF, nampaknya hanya sedikit yang tertarik. Tapi aku bersemangat. Aku ingin mencalonkan diri, tapi bukan dari angkatan. Aku ingin dipilih seluruh mahasiswa Fisip. Dan aku berniat mengembalikan BPMF ke rel yang sebenarnya, yaitu sebuah lembaga legislatif yang berfungsi menelorkan kebijakan yang tepat untuk mahasiswa.
Tapi, Simon menentang. “Tak ada gunanya kau di BPMF. Sebaiknya kau memperjuangkan salah satu calon ketua Sefa, kemudian kau minta bagian kalau dia terpilih,” katanya.
Aku tersenyum kecut. Meminta bagian? Seperti politisi benaran saja!
“Sefa itu lembaga politik. Buktinya ada pemilihan! Makanya jangan heran kalau permainan di dalamnya juga permainan politik. Tentu aturan mainnya juga sesuai dengan aturan main di tingkat mahasiswa; agak memperhatikan etika. Ya, minimal di sini money politic belum ada. Atau minimal tidak terlalu kelihatan …he-he-he…”
“BPMF bagus kalau diefektifkan.”
“Ah, kamu. Diefektifkan pun, BPMF tetap seperti itu. Mungkin mengikuti kinerja DPR…he-he-he…” Simon terkekeh. “Kalau kamu benar-benar ingin menekuni dunia aktivis intra, sebaiknya kamu jadi ketua Sefa, di BPMU atau jadi ketua SMPT. Itu baru kursi aktivis namanya. Menjadi anggota BPMF itu hanya sebagai pelengkap penderita saja…he-he-he…”
Aku masih diam. Aku masuk ke Fisip dengan harapan akan menemukan system politik diaplikasikan dalam kehidupan kampus, minimal di fakultas, terutama dalam pemerintahan mahasiswa. Tapi, kenyataannya tidak.
Karena berbagai pertimbangan, akhirnya aku mengikuti saran Simon. Tapi, aku tak ingin melakukan jual-beli suara dalam pemilihan ketua Sefa. Aku memandang bahwa apa pun yang kuhasilkan dari mendukungan seorang figur calon ketua hanya ekses saja. Karena itu, aku tak memasukan pertimbangan politik dalam menilai seorang calon. Bagiku, pertimbangan ideal merupakan nilai mati dalam mendukung calon. Syarat ideal itu adalah: cerdas, bijaksana dan punya kemampuan memimpin. Jika ada calon yang seperti itu maka aku akan mendukungnya walau akan kalah dan aku tidak mendapatkan apa-apa.
ÏG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar