Entri Populer

Kasak Kusuk



Menurut kabar burung, yang maju memperebutkan kursi ketua Sefa tiga orang: Nandang, Mahmud, dan Indra. Mereka semester enam semua. Nandang merupakan atasanku di BPMF. Sedangkan Mahmud dan Indra merupakan pengurus Sefa.
Sebagai bawahan, aku sudah mengenal Nandang. Orangnya pengecut, tak berani merubah sistem di fakultas yang melemahkan mahasiswa. Menurut kabar, Nandang telah melakukan banyak manuver agar jadi ketua BPMF. Tapi mahasiswa masih sama dengan rakyat kebanyakan. Begitu Nandang terpilih, tak pernah dikontrol. Menurutku, ini yang membuat Nandang bisa bergerak bebas sesuka hatinya.
Aku tak akan memilih Nandang!
Mahmud seniorku di omek. Dan omek besar yang selalu menjadi penentu kepemimpinan mahasiswa di kampus itu sudah sepakat untuk menjadikan Mahmud sebagai ketua Sefa. Di mataku, Mahmud memang baik untuk diusung. Dia cerdas dan punya jaringan yang luas. Sayangnya dia terlalu sibuk.
Sedangkan Indra tidak ikut omek, juga tidak aktif di kumpulan mahasiswa. Kegiatannya hanya meneliti dan menulis. Tulisannya tersebar di berbagai media. Penelitiannya sudah dimuat di beberapa jurnal. Bahkan beberapa sudah mendapatkan penghargaan tingkat nasional.
Menurutku, di tangan Mahmud dan Indra Sefa bisa benar-benar mandiri. Sayang mereka berjuang sendiri-sendiri.
ÏG
Saat dinyatakan menjadi anggota BPMF, aku di suruh kesekretariatan untuk bertemu dengan ketua yang menyuruhku mengetikan surat pengangkatan diriku—itu pertemuan dan perintah pertama Nandang, dan karena Encep—sebagai sekretaris—tak ada maka aku harus mencarinya untuk minta tanda tangan dan stempel. Setelah itu, hampir setiap hari aku ke sana tapi hanya sekadar mampir karena tak ada pembicaraan bermutu.
Selama di BPMF aku belum pernah mengikuti pertemuan formal—dan setahuku memang belum pernah ada. Karena itu, aku menganggap rapat penentuan kriteria ketua Sefa siang itu sebagai pertemuan formal pertamaku.
Luar biasa, semua anggota BPMF hadir, termasuk anggota yang selama ini menentang Nandang. Sudah menjadi rahasia umum di Fisip bahwa BPMF terpecah. Terlebih lagi begitu mendengar Nandang akan mencalonkan diri, dan sudah dapat diduga akan mencoba menggugurkan calon lain lewat kriteria. Dimatikan sebelum berperang memang luar biasa kejam, tapi aku sadar bahwa seperti itu sistem dimainkan dan memang seperti itu keinginan pemainnya.
“Kawan-kawan, penentuan kriteria akan menentukan bagaimana Sefa kita ke depan. Karena itu sangat penting…” Nandang memang orator yang bagus. Tak seorang pun meragukan kehebatannya dibidang yang satu ini. Tapi semua tahu dia sulit melaksanakan semua yang dia katakan itu. Aku tersenyum. Nandang cocok di legislatif, tapi tak tepat di eksekutif. Ya, kalau eksekutif kerjanya hanya omdo alias omong doang, mungkin dia sangat tepat.
Nandang menyelesaikan pidato pengarahannya setelah tak dapat lagi menemukan istilah-istilah yang tepat untuk diuraikan bertele-tele.
Kemudian dilakukan pemilihan pimpinan sidang. Ternyata semua mengajukan aku. Satu persatu kriteria diusulkan. Harus lulus ospek yang dibuktikan dengan sertifikat ospek, mahasiswa aktif, pernah aktif di organisasi intra, dari semester enam, belum kawin dan bersedia untuk tidak kawin kalau terpilih, IPK minimal 3, tidak merangkap jabatan di organisasi lain, dan masih banyak lagi.
Awalnya pembahasan berlangsung lancar, termasuk persyaratan semester yang sebenarnya tidak demokratis. Yang menjadi masalah justru IPK dan rangkap jabatan.
“Kawan-kawan, Sefa cukup diperhitungkan. Organisasi ini bukan hanya organisasi masyarakat pinggiran. Sefa akan berinteraksi dengan organisasi-organisasi lain. Selain itu, di Sefa sangat banyak kegiatan yang sulit ditinggalkan. Juga, hampir semua kegiatan terkait dengan logika. Dan terbukti bahwa kita semua setuju mengusung kawan-kawan dari semester enam. Artinya, kita akan memilih teman-teman yang masih menempuh kuliah. Kalau dia tidak pintar-pintar mengatur waktu maka bisa jadi ada yang dikorbankan. Saya rasa kita semua sependapat bahwa tidak boleh ada yang dikorbankan kalau hanya untuk menjadi ketua Sefa. Kalau dia mengorbankan kuliahnya, kasihan orang tuanya. Orang tuanya sudah membanting tulang, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, hanya untuk membiayai kuliahnya. Kasihan kan kalau dia akan mengorbankan kuliahnya?…”
“Yang konkrit,” teriak yang lain memotong uraian panjang Mirza.
“Di mana-mana kan perlu ada pembukanya,” kata Mirza dengan bibir tersenyum, “saya lanjutkan. Kalau dia mengorbankan organisasi, tentu kita semua akan berontak. Sebentar to, ini sudah akan selesai,” katanya sambil melirik tajam ke Jamal yang angkat tangan.
“Iya, teruskan, Mas,” kataku selaku pimpinan sidang.
“Terimakasih, pimpinan sidang,” sahut Mirza dengan senyum manis padaku. “Orang yang tepat untuk mengatasi semua permasalahan tadi adalah mereka yang punya kecerdasan mumpuni. Kecerdasan ini dapat dibuktikan dengan indeks prestasi yang memadai. Karena itu, saya mengajukan kriteria minimal IP 3,00. IP 3,00 ini tidak diambil begitu saja tapi menggunakan asumsi. Asumsinya begini: saat ini, dunia kerja mematok IP minimal 2,75. Nah, untuk kriteria pemimpin, seharusnya di atas IP di dunia kerja itu karena pemimpin tidak sekedar pekerja. Seorang pemimpin merupakan organizer, seorang manajer, yang akan mengelolah organisasi. Selain itu, seorang pemimpin juga merupakan simbol. Pemimpin memang bukan segala-galanya, tapi minimal dia harus di atas sedikit dibanding orang-orang yang dia pimpin. Atau minimal, setara. Atau di bawah sedikit. Tapi tidak boleh di bawah sekali…”
“Yang konkrit,” teriak yang lain memotong.
“Betul, mas. Mohon dipercepat,” tegurku.
“Iya, konkritnya, saya mengusulkan IP minimal 3,00 dengan berbagai pertimbangan tadi. Terimakasih.”
Jamal langsung berdiri dan bicara. “Saya salut pada Mirza. Dia sudah layak di DPR.” katanya menyindir, “Baik, saya mengomentari sedikit saja. IP bukanlah ukuran bagi seorang organizer atau manajer. Teman-teman tentu tahu bahwa demikian banyak politisi dengan latar belakang pendidikan yang kurang memadai. Mereka bahkan tidak mengenal IP karena mereka tak pernah mengenal dunia perguruan tinggi. Perlu contoh? Lihatlah pimpinan negara kita. Beliau hanya lulusan SR yang setingkat SD. Nah, apa yang terjadi? Kita tentu bisa melihat hasil pembangunan dari seorang yang hanya tamatan SD ini. Karena itu, saya memandang bahwa IP bukan ukuran.”
“Tambahan,” teriak Andre, “tadi Mirza sudah menguraikan begitu banyak tentang pentingnya seorang yang pandai. Maaf, Mas, Sefa bukan tempat belajar sehingga menghasilkan IP tinggi. Di sini kita diperintahkan untuk memenej organisasi, dan itu bukan diukur dari kepintaran di kampus. Ini sangat terkait dengan kemampuan manajerial. Karena itu, Aristoteles menentang pendapat Plato yang mengedepankan seorang filosof sebagai pemimpin. Kita sudah sering menyaksikan seorang yang pintar ternyata hanya bisa beretorika dibandingkan bekerja. Seorang yang pintar, pada kenyataannya hanya bisa menelorkan teori tapi tak bisa mempraktekan. Kalau kita menginginkan seorang yang pintar memimpin Republik ini, mengapa tidak diambil saja dari kalangan perguruan tinggi? Bukankah mereka yang lebih teruji kecerdasannya? Saya rasa saya sangat tidak setuju dengan keinginan saudara Mirza ini. Parameternya tidak jelas.”
“Kalau tidak jelas, biar saya perjelas,” kata Markum.
“Hei, hormati pimpinan sidang, dong,” bentak Andre.
“Iya, saya menghormati pimpinan sidang. Bukan begitu pimpinan?”
“Silahkan,” kataku.
“Terimakasih,” kata Markum terdengar tulus. “Saya rasa teman-teman agak aneh mengambil perumpamaan. Apakah Sefa bisa disamakan dengan sembarangan organisasi? Misalnya organisasi tukang becak? Tidak kawan-kawan! Sefa punya karakter sendiri dibandingkan organisasi lain. Sefa adalah organisasi mahasiswa, mahasiswa merupakan kelompok masyarakat ilmiah. Nah, seharusnya segala yang terkait dengan Sefa juga diikatkan dengan karakter ini. Dan sebagai masyarakat ilmiah, kecerdasan harus dikedepankan. Saya rasa, Aristoteles menolak pandangan gurunya, Plato, karena pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin negara, suatu model masyarakat dengan karakter yang lain. Dan ketika mereka berdebat tentang pemimpin di perguruan tinggi, saya yakin mereka akan sependapat bahwa pemimpinnya harus seorang filosof. Apakah bisa dikumpulan filosof dipimpin yang bukan filosof?”
Aku tersenyum. Saat ini, di lingkungan perguruan tinggi, yang katanya sebagai lingkungan akademis, ternyata banyak juga yang dipimpin orang yang tidak kompeten secara akademis.
“Nah, seperti ini juga yang ada di lingkungan mahasiswa. Apakah ada di antara kita yang datang ke kampus untuk berdagang? Saya rasa tidak ada! Tujuan satu-satunya dari seluruh komunitas mahasiswa adalah belajar, dan belajar berarti dia ingin menambah pengetahuan. Kecerdasan merupakan ukuran di sini! Karena itu sangat tepat kalau ukuran untuk seorang calon pemimpin mahasiswa adalah kecerdasan. Dan kecerdasan berarti indeks prestasi. Karena itu saya sangat setuju kalau indeks prestasi dijadikan kriteria, terimakasih.”
Andre angkat tangan sambil berteriak: “Kawan-kawan tidak realistis.”
Markum yang sudah akan duduk langsung berdiri dan berteriak, “Interupsi, itu perkataan yang tidak etis…”
“Tenang kawan-kawan, jangan terbawa emosi,” aku menenangkan, “mohon Anda duduk dulu, Mas Markum. Dan Anda Mas Andre, tolong jangan mengeluarkan kata-kata yang menyinggung. Silahkan, Mas Andre.”
“Terimakasih pimpinan sidang. Saya mohon maaf jika perkataan saya menyinggung, tapi saya ingin mengutarakan kebenaran…”
“Maksudnya?” tanyaku.
“Iya, ketidakrealistisan kawan-kawan sangat terlihat dari argumennya…”
“Maaf, Mas, mohon jangan menyela dulu. Biarkan Mas Andre menyelesaikan argumennya,” kataku ketika melihat Markum sudah berdiri, “lanjutkan, Mas Andre.”
“Jadi begini, argumen kawan-kawan bahwa kegiatan Sefa itu sangat terkait dengan keilmiahan saya rasa sangat relatif. Idealnya memang kegiatan Sefa selalu terkait dengan keilmiahan. Yang saya maksudkan keilmiahan di sini adalah melakukan penelitian, membaca buku, dan menuliskan ide. Tapi, pada realitasnya, kegiatan Sefa sangat sedikit yang terkait dengan ini karena pekerjaan semacam ini sudah dilakukan oleh teman-teman di kelompok study. Memang benar, bisa saja dikatakan bahwa seminar, lokakarya, semiloka, dan lainnya merupakan kegiatan ilmiah. Tapi harus diingat bahwa Sefa kebanyakan hanya sekedar fasilitator. Bahkan untuk menjadi salah satu pemateri pun, sangat jarang. Karena itu, apa yang dikatakan teman-teman tadi ideal tapi tidak realistis. Kalau mau dilakukan seperti itu, Sefa ganti saja namanya dengan lembaga penelitian mahasiswa.”
Markum angkat tangan. “Saya bingung melihat kawan-kawan yang menolak. Apa teman-teman takut calonnya tidak bisa masuk karena IP-nya tidak memenuhi syarat?”
Perdebatan terus berlanjut. Aku mulai bosan. “Maaf, kawan-kawan. Saya rasa kita tak perlu berlarut-larut memperdebatkan masalah ini…”
“Interupsi pimpinan sidang,” teriak Abas. Nampaknya diamnya Abas untuk memonitorku, dan sekarang dia memotong ucapanku. “Anda di situ sebagai pimpinan sidang, fungsinya mengendalikan forum. Anda tidak boleh mengajukan argumen.”
Wajahku memerah. Aku tersinggung. “Saya pimpinan, kewajiban saya untuk mengendalikan forum. Saya wajib mengajukan solusi kalau forum tidak kondusif lagi! Dan sekarang, forumnya sudah tidak kondusif!” teriaknya.
“Informasi pimpinan sidang,” teriak Nandang. Aku mempersilahkan. “Informasi, makanan sudah datang. Bagaimana kalau kita makan dulu? Ya, hitung-hitung untuk mendinginkan kepala juga.”

“Baiklah, ada tawaran break. Bagaimana?”

Semua setuju. Sidang di break dua kali sepuluh menit. Aku mengetokan palu dengan keras. Aku masih dongkol pada Abas.

Ternyata, waktu break digunakan untuk lobi oleh dua kelompok yang berbeda pendapat. Sangat terlihat Nandang aktif dalam lobi itu. Walhasil, kedua kelompok sama-sama menurunkan tawaran. Syarat IP dipergunakan tapi sudah diturunkan dari tiga menjadi 2,5. Dan IP itu bukan IPK, juga bukan IP terakhir melainkan IP di salah satu semester. Dari situ juga aku tahu bahwa prestasi akademik Nandang rendah. Rangkap jabatan juga tak begitu dipermasalahkan. Redaksinya menjadi : tidak sedang menjabat Ketua Umum di organisasi lain.
Akhirnya sidang penentuan kriteria selesai juga dengan damai.
Menurut yang kudengar, pertarungan di BPMF adalah perang antara kelompok Nandang dan kelompok Mahmud. Mengapa Indra tidak di sentuh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar