Setelah gagal kuliah, sekarang mendapatkan pekerjaan yang menjadi prioritasnya. Pekerjaan? Kawan-kawannya sering menjadi-kan pekerjaan sebagai bahan guyonan. Kalau kau ingin pekerjaan, banyak; makan-minum, buang air kecil maupun besar, melamun—itu semua pekerjaan. Persoalannya, siapa yang akan membayar? Jadi, yang benar adalah mendapatkan uang dan bukan mencari pekerjaan!
Arum membenarkan pandangan itu, tapi dia tak bisa bergurau. Tak mungkin dia bergurau dengan nasib adik-adiknya. Arisanti sebentar lagi masuk SMA, Arifudin sudah kelas lima SD , Ariani SMP—di tahun-tahun mendatang sekolah ketiga adiknya butuh biaya besar. Hasil kue dan warung tak akan mampu membiayai sekolah mereka. Bagaimanapun, Arum bertekad ketiga adiknya bisa terus sekolah, minimal seperti dirinya—tamat SMA—atau lebih. Arum sering bertanya dalam hati, mengapa Tuhan menjadikan bapaknya hanya sebagai pemberi nama pada mereka?
Arum ke Kepala Sekolah, minta
Dia juga membeli buku panduan menulis surat yang salah satunya tentang cara penulisan lamaran pekerjaan; di sana dikatakan bahwa banyak orang yang sudah mendapat pekerjaaan karena menggunakan buku itu. Arum mengikuti saja setiap penggal kata dalam buku. Kalau ingin berguru, bergurulah pada yang berpengalaman; kalau tak ada maka belajarlah pada orang yang menuliskan pengalamannya. Bagaimana mengetahu penulisnya berpengalaman? Ujilah pada dirimu, kau berhasil maka dia berpengalam-an. Kalau tidak?…
Walau yakin akan diterima di manapun namun dia tetap membuat lamaran yang banyak agar dapat memilih tempat kerja yang lebih nyaman dan gaji yang lebih besar. Repot. Sebenarnya dia bisa mengetik di rental—dia cukup mahir komputer—namun menurut buku itu, surat lamaran sebaiknya ditulis tangan agar pihak yang punya pekerjaan dapat mempertimbang-kan dari tulisan kita.
Capek juga mengulang kalimat dalam berlembar-lembar folio.
“Mbak Rum…”
Arum kaget, pulpennya menghasilkan goresan panjang. Dia menoleh, rupanya Arisanti. “Kamu kalau masuk ketuk pintu dulu, dong!” semprotnya.
“Maaf, Mbak.” Tanpa banyak tanya Arisanti ke pintu kamar yang sudah terbuka dan mengetuknya. “Mbak Rum ada?” tanyanya.
Mau tak mau Arum tertawa juga melihat kekonyolan adiknya.
“Mau bicara apa kamu?”
“Saya heran sama Mbak Rum, Mbak Rum kan sudah akan lulus, mengapa masih dihukum begitu?”
“Maksudnya?”
“Mbak menulis kalimat yang sama terus menerus. Siapa yang nyuruh?”
“Kamu, Ani dan Udin!”
Sekarang Arisanti yang terkekeh. “Kalau begitu, ada yang bisa aku bantu, mbak yang baik hati?” tanyanya dengan mimik lucu.
Arum menggeleng, dia sudah kembali ke catatannya.
“Aku juga bisa menulis begitu!” Arisanti ngotot.
“Tulisanmu jelek, bisa-bisa aku tak diterima gara-gara kamu!”
“Ya, sudah!”
“Eh, tunggu,” cegah Arum. “Ayo kita cari pekerjaan yang cocok untukku!”
Dengan semangat milenium baru mereka mencari lowongan di koran-koran itu; Arisanti yang lebih banyak menentukan karena Arum bisa menerima pekerjaan apa saja.
Akhirnya selesai juga.
“Sekarang, kamu ke rental dan ketikan semua. Tanya sama Sony bentuk bagusnya.”
Arisanti memberi hormat dan berlalu. Arum kembali ke tulisannya. Beberapa saat dia menikmati suasana tenang dan damai, tapi tak lama. Dua adiknya yang lain datang.
“Bagaimana pr-mu, Din, nilainya bagus, kan ?”
“Benar semua, Mbak. Mbak Rum memang hebat!”
“Iya, tapi lain kali kamu harus mengerjakan sendiri.”
“Hanya sekali itu kok, Mbak!”
“Aku kok nggak ditanya?” protes Ariani.
“Iya, kamu bagaimana?” Arum tersenyum padanya. Ariani sudah kelas satu SMP tapi masih suka bermanja—mungkin karena terlalu muda saat sekolah.
“Aku juga benar semua, dan ini hasilku sendiri!”
“Iya, iya. Kalian berdua sama-sama hebat!” puji Arum, dia kembali ke pekerjaannya.
“Perlu bantuan, Mbak?” tanya Arif dan Ariani bersamaan.
“Apa, ya?” Arum berpikir. “Nah, kamu Ani, ke ibu. Minta uang untuk beli perangko.”
Ariani segera pergi
“Kamu Udin, bantu masukan lembaran ini ke amplop, ya. Begini caranya!” Arum memberi contoh.
“Gampang!” Arifudin mulai mema-sukan lembaran-lembaran ke am-plop besar. “Mbak, saya kan lelaki, seharusnya saya yang mencari uang setelah bapak meninggal!”
Arum menarik napas. Di antara mereka, Arifudin yang paling sedikit merasakan kasih sayang bapaknya. Bapaknya meninggal ketika Arifudin baru berumur hampir empat tahun. Tapi dia sudah bisa merasakan tanggung jawab sebagai anak lelaki.
“Tidak harus begitu, Udin. Kamu kan masih kecil,” Arum menghibur.
“Saya bisa mencari uang, dengan menjual koran misalnya.”
“Sekolahmu?”
“Aku menjual koran setelah sekolah bubar!”
“PR-mu?”
“Bisa diatur!” kata Arifudin seolah orang dewasa.
“Tidak, kamu harus sungguh-sungguh memperhatikan sekolah. Kalau kamu berhasil di sekolah kemudian jadi orang besar baru kamu membantu ibu dan kami!”
Pembicaraan mereka terpotong dengan kemunculan ibu. “Kamu kan tak harus mengirimkan lamaran sebanyak itu, Rum. Apa kamu tidak bingung kalau semua menerima?”
Arum tersenyum. Itu tanda ibunya tak punya banyak uang. “Harga prangkonya tidak sampai lima puluh ribu kok, Bu,” kata Arum.
“Ya, baguslah!” hanya itu yang dikatakan ibunya.
Tak lama muncul Arisanti. Mereka bergotong royong menempelkan alamat serta perangko ke amplop.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar