Separo dari hidup kita dirusak oleh orangtua kita
Sisanya oleh anak-anak kita
(Ach. Muchlis)
Tanjung Periuk, pukul 10.13. Hawa panas. Matahari bersinar gagah. Aku berdiri tak acuh di anjungan dengan memakai topi dan jaket merah menyala, pakaian aneh untuk siang terik seperti ini. Beberapa orang memandangku tapi aku tak merasa. Aku menatap ke depan, ke tempat penjemput, tapi aku tak melihat siapa-siapa. Yang kulihat dan rasakan hanya diriku, yang kuhirup hanya damainya hawa kebebasan.
Bebas?
Rasanya baru kemarin aku berdebat dengan orang tuaku. Orang tuaku tidak menghambat keinginanku untuk kuliah, bahkan terasa mereka lebih ingin aku kuliah daripada aku sendiri. Setelah selesai Ebtanas, karena mereka yakin aku akan lulus, mereka menguliahiku tentang pentingnya kuliah. Kau tahu kenapa mereka gigih menguliahkanku?
Kalau kau bilang orang tuaku tulus ingin aku jadi sarjana, mudah-mudahan engkau benar. Namun menurutku keinginan mereka lebih dari itu. Saat menguliahiku, mereka berkali-kali bilang gelar sarjana membuatku akan didengar masyarakat, terlebih lagi jika aku menjadi pegawai negeri dengan jabatan tertentu setelah jadi sarjana.
Di dengar masyarakat, itu intinya!
Di dengar masyarakat berarti ditokohkan. Orang tuaku memang berusaha mati-matian untuk dapat ditokohkan. Namun ketokohkan keduanya baru ditingkat kampung, itupun mereka bukan tokoh utama. Orang tuaku baru pegawai kecil dengan jabatan yang tidak begitu penting, juga sedikit harta. Ini baru modal dasar untuk di dengar oleh orang terkecil. Namun di atas sedikit orang terkecil itu, jangan harap mereka mau mendengar. Padahal orang tuaku demikian menggebu ingin ditokohkan. Karena itu, mereka begitu bersemangat untuk menguliahkanku. Jika aku kuliah dan berhasil jadi sarjana, apalagi mendapat kedudukan penting setelahnya, tentu nama mereka juga yang akan terangkat.
Ketokohan mereka akan menguat! Banyak orang yang akan mendengarkan mereka!
Jadi, untuk itulah aku kuliah! Itulah tujuan orang tuaku menguliahkanku!
Aku sendiri, tentu aku sangat ingin kuliah. Namun tujuanku berbeda dengan orang tuaku. Aku kuliah, selain untuk mendapatkan pengetahuan, juga agar bisa bebas dari pengawasan orang tuaku. Karena itu, aku memilih kuliah di tempat yang jauh. Di Jawa!
“Apa hebatnya kuliah di Jawa?” bentak papa ketika kukatakan itu.
Tidak ada! Aku sependapat dengan papa. Jika melihat Oom Iman, kuliah di manapun tak ada beda. Adik Mama Salman itu hanya kuliah di Unsrat tapi wawasannya luas. Persoalannya, aku tahu bahwa papa tak hanya berbicara tentang kehebatan suatu tempat kuliah. Papa tak ingin aku ke Jawa, tepatnya papa ingin aku hanya kuliah di Manado saja agar beliau tetap bisa mengawasiku. Sedangkan aku, aku tak ingin terus-terusan berada di ketiak papa. Aku ingin mengepakan sayap. Aku ingin bebas. Dan untuk bebas maka Jawa tempatnya. Maka aku tetap berjuang agar bisa kuliah di sana .
Berbagai argumen kuutarakan. Awalnya aku bilang bahwa Jawa lebih hebat dalam banyak hal. Lebih maju, fasilitas lebih mendukung, pengajar lebih pan-dai, persaingan lebih nampak yang membuat kecerdasan kita lebih teruji, dan lainnya, dan lainnya. Tapi papa bersiteguh aku kuliah di daerah. Nampak-nya beliau benar-benar tak ingin melepaskanku.
Akhirnya, setelah berbagai argumen dipatahkan oleh papa dengan perkataan gampang: “Ah, semua tergantung manusianya!”, aku mencoba argumen lain yang sebenarnya riskan. Aku tahu kelemahan papa. Entah mengapa papa membenci keluarga mama, keluarga Sampaka, terutama Papa Rusman yang dipandang sebagai pimpinan keluarga besar Sampaka. Karena itu, sentuh dari sisi persaingan dengan Papa Rusman, papa pasti setuju. Kebetulan dari keluarga Sampaka belum ada yang kuliah di Jawa. Rusman, sebagai anak pimpinan keluarga besar Sampaka hanya kuliah di Manado .
Aku sadar, sisi ini sangat sensitif. Pertentangan antara papa dengan Papa Rusman akan semakin meruncing. Tapi, bagaimana lagi? Papa tak memberiku pilihan lain!
“Saya rasa ini baik, Papa. Dari keluarga Sampaka…”
“Kamu bukan Sampaka, kamu Abidin,” potong papa garang.
Fam atau nama keluarga, ini lagi yang jadi persoalan. Entah karena benci atau mau membuat sensasi, papa menjadikan namanya sebagai fam. Fam ini baru digunakan empat orang, itupun karena mama dipaksa memakai fam ini sehingga bernama lengkap yang lucu: Iput Sampaka Abidin.
Sebenarnya aku ingin menyatu dalam keluarga besar Sampaka. Apalagi ketika aku mendengar impian Papa Rusman untuk menjadikan Sampaka besar seperti Manoppo, Mokoginta, Mokodongan, Paputungan, Damopolii dan fam besar lainnya. Adat membuka kesempatan. Dalam adat, suami yang tidak membawa fam akan ikut fam isteri. Pihak keluarga mama sudah mengusulkan agar papa memakai fam Sampaka, tapi papa terlalu egois. aku sangat kecewa dengan sikap egois papa. Aku berjanji dalam hati. Kelak, ketika aku mandiri, aku akan merubah famku menjadi Sampaka. Tapi, sekarang, tak apalah merunduk sedikit.
“Iya, maksudku, keponakan mama belum ada yang kuliah di Jawa. Bagus kalau fam Abidin yang merintis,” aku meluruskan.
Luar biasa hasil merunduk. Merunduk ternyata bukan hanya menghindari pukulan tapi bisa balas memukul. Tanpa bertanya dan berargumen, papa langsung setuju.
Uh, rasanya itu semua baru kemarin. Dan sekarang aku di Jawa, di tanah kebebasan.
Aku bebas!
“Hei.”
Sebuah tepukan memelantingkanku ke realitas. Ternyata Dani, anak Ternate asal Ujung Pandang , sahabatku selama di kapal. Seperti aku, Dani baru tamat SMA tapi dia lebih memilih ikut oomnya berdagang di Jakarta daripada kuliah.
“Kenapa kamu berteriak seperti orang gila? Lihat, orang-orang memperhatikanmu!”
Aku memandangi sekeliling. Benar juga. Orang-orang melihat ke arahku dengan pandangan bertanya dan curiga. Aku tersenyum pada mereka yang dibalas lengosan marah. Mungkin mereka terganggu dengan kegilaanku. Tapi, hei, siapa yang menyuruh kalian memperhatikan kegilaanku? Senyumku semakin berkembang dan dihadiahkan pada orang-orang itu.
Dani menggelengkan kepala. “Benar kata orang, Jakarta membuat kita mabuk sebelum minum,” katanya, kemudian menyeretku untuk bersiap turun.
Aku sangat bersemangat untuk turun. Beberapa orang kena sikutku. Dani dan oomnya mengikut dengan napas ngos-ngosan. Ketika menginjakan kaki di pelabuhan, kembali kurasakan kebebasan.
Tanah kebebasan!
“Di mana penjemputmu menunggu?” tanya Dani.
“Ya Allah.” aku memukul jidat. Aku memakai pakaian ngejreng di siang terik itu bukan tanpa maksud. Aku sudah lama tak bertemu Kak Juanda, begitu aku memanggil orang yang akan menjemputku, untuknya aku berpakaian begini.
Kebebasan ternyata tidak baik, bisa melupakan pada tujuan.
Untung papa tak memaksakan Papa Rahim yang menjemput. Jika jadi Papa Rahim, aku tak tahu lagi apa yang akan kukatakan pada Kapten tentara itu. Ya, untunglah Kak Juanda yang menjemput. Minimal minta maaf lebih mudah.
“Sudah. Daripada bingung, sebaiknya kamu istirahat dulu di rumahku,” kata oomnya Dani. “Kamu punya nomor telepon tujuanmu, kan ?”
“Ada !”
“Bagus. Ayo kita berangkat!”
Semangatku kembali muncul. Langkah panjangku sulit diikuti Dani dan oomnya.
Tiba-tiba terdengar pemberitahuan dari pengeras suara: “Kepada Amin Abidin, penumpang asal Bolaang Mongondow tujuan Jakarta , ditunggu Juanda di loby.”
“Wah, kamu tak berjodoh dengan gubukku, Min!” kata oomnya Dani.
“Lain kali pasti berjodoh, Oom. Tenang saja!” aku tersenyum pada oomnya Dani. Langkahku semakin panjang, cepat dan mantap.
ÏG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar