Sudah beberapa hari Arum tidak ke sekolah padahal bagi sebagian besar siswa saat perpisahan meru-pakan detik yang paling membaha-giakan berada di lingkungan sekolah. Guru killer tak ada lagi, begitu juga dengan pelajaran-pelajaran aneh dan membosankan. Mereka bebas dari semua itu, bahkan berpakaianpun mereka bebas. Mereka bisa nampang tanpa terlihat bodoh. Yang mereka lakukan di sekolah adalah bergosip; kampus pilihan, itu yang paling banyak dibicarakan. Yang merasa pintar beranda-andai untuk masuk kampus negeri, yang di tengah-tengah akan memilih kampus swasta terkenal, yang sadar dia tidak pintar akan ke kampus swasta yang tidak begitu dikenal—yang penting jadi mahasiswa! Pembicara-an lain tentang pekerjaan, per-kawinan, dan lainnya.
Arum merasa tak ada yang yang perlu dia bicarakan dengan kawan-kawannya. Juga, dia masih kesal dengan tidak jadinya dia kuliah di kampus terkenal itu. Dia belum bisa menerima perlakuan sekolah—guru dan orang tua kawan-kawannya.
Sambil menunggu jawaban lamarannya, dia membantu di warung makan dan membuat kue yang dititipkan ke warung lain. Setelah bapaknya meninggal, warung makan dan kue itu menjadi sandaran hidup mereka.
Arum sedang menyiapkan adonan kue sambil merenungkan kejatuhan-nya. Luar biasa. Dua belas tahun sekolah, pujian datang dari segala arah, sekarang tak seorangpun yang memperhatikannya. Dia lima besar provinsi dan pertama di Kabupaten, dan sekarang sedang membuat adonan kue tanpa bisa bermimpi untuk kuliah. Sang bintang tak diperkenankan bertarung karena tak punya uang!
“Ada tamu, Mbak!”
Arisanti mengagetkannya, Arum nyaris terlonjak. “Kamu ini, kese-nangannya mengagetkan orang.”
“Aku salah terus, ya?” kata adik-nya, cengengesan. “Ada tamu, tu!”
“Siapa?” Arum tak memerlukan jawaban. Dia langsung mencuci tangan dan ke ruang tamu yang diiringi cibiran adiknya.
Ternyata tamunya Budiman, Ketua OSIS di sekolah Arum.
“Apa ini kunjungan dinas?” Arum mencoba bergurau.
“Tentu! Aku masih bosmu, kan ?” Budiman membalas.
“Anak buahnya mana?”
“Anak buah andalanku sedang bertapa!”
Arum tertawa. Selama ini, kalau ada apa-apa, Budiman selalu mengandalkannya. “Minum apa?”
“Ini bukan minuman?” Budiman mengangkat gelas berisi teh.
“Kapan Santi membuatnya?”
Budiman menggelengkan kepala. “Ya, Tuhan, kau sering berada di luar dunia rupanya? Duduklah!”
Budiman memang selalu punya cara bagus untuk mendekati anak buahnya sehingga banyak yang kecewa karena salah menafsirkan pendekatannya. Type pimpinan sekaligus penakluk yang berbahaya di mata Arum. Arum pun duduk.
“Aku mengerti kau kecewa, Non. Akupun sebenarnya kecewa, tapi yakinlah bahwa Tuhan punya cara sendiri untuk menunjukan jalan yang tepat untuk kita…”
“Iya, Pak!” Arum tersenyum.
“Saya serius, Rum.” Arum ter-diam, kalau Budiman menyebut nama, berarti dia serius. “Lihatlah dirimu, engkau mengurung diri hanya gagal menjadi mahasiswa di kampus terkenal…”
“Aku bukan gagal menjadi mahasiswa di kampus terkenal, Bud, tapi aku tak bisa menjadi mahasiswa,” Arum memotong.
“Tak usah sungkan, kalau aku bisa masuk kampus terkenal kemudian tiba-tiba ada penghalang, aku pun akan bersumpah untuk tidak akan pernah kuliah. Untuk apa kuliah di kampus kacangan?”
“Kamu lihat aku.” Arum kesal, dia menantang mata Budiman. “Apa aku punya kekuatan untuk bersikap sok begitu?”
“Mungkin saja! Kamu ini pandai, di sekolah tak ada saingan, dan nampaknya di Kabupaten juga!”
“Budiman, Budiman. Untuk apa semua itu kalau aku tak bisa mem-biayai kuliah? Jangankan membiayai kuliah di kampus terkenal yang pasti mahal, di kampus tempat aku memenangkan lomba penulisanpun aku tak sanggup. Benar kamu, jalanku mungkin bukan dengan menjadi mahasiswa.”
“Iya, benar, mungkin! Takdir, kata Iqbal, adalah kemungkinan yang belum terjadi. Dan karena kemungkinan maka kamu yang menentukan apakah kemungkinan itu terjadi atau tidak. Segalanya tergantung padamu, kau tidak akan berubah selama kau tak ingin dan tidak melakukan perubahan!”
Arum benar-benar terkekeh. “Apa yang ada padaku sehingga bisa seberkuasa itu?”
“Dengan tidak melupakan Tuhan, engkau sebenarnya punya banyak hal sehingga kau bisa menjadi penentu pada dirimu sendiri. Kau punya otak yang encer, punya orang tua, dan jangan lupa kau punya kawan. Semua itu milikmu…”
“Jangan dibuat sulit dong, Bud,” potong Arum. Walau Arum terbaik di sekolahnya dan kabarnya di Kabupaten juga namun dia kurang senang bernalar, apalagi di tengah kemelut yang menimpa dirinya. Beda dengan Budiman yang kesenangannya berfilsafat.
“Pendek kata, semua itu milikmu, engkau bisa menggunakannya untuk menentukan kemungkinan yang akan terjadi padamu. Termasuk kami, kawan-kawanmu, seharusnya kau manfaatkan juga…”
“Kok dimanfaatkan?”
“Ah, mengapa kita alergi dengan kata itu? Kan seperti itu yang terjadi dalam hidup kita? Apa kau pikir Kepala Sekolah membantumu benar -benar untukmu? Tidak! Dia mem-bantumu karena engkau bisa dimanfaatkan untuk dirinya dan sekolah yang dia pimpin. Jadi tak perlu alergi dengan kata meman-faatkan sepanjang kita juga mau dimanfaatkan. Dalam ilmu biologi disebut simbiosis mutualisme…”
“Iya, Pak Guru!” Arum tersenyum.
“Maaf ya, muridku yang cantik, kita harus jujur. Tak usahlah memoles moles kalimat karena itu membuat kita seperti ular.”
“Ular?”
“Iya, ular. Pemolesan kalimat menurutku hanya pergantian kulit. Siapa mahluk Tuhan yang bisa melakukan pergantian kulit?”
Mereka tertawa berbarengan.
“Lanjut, kami sebenarnya bisa kau manfaatkan tapi kamu tak melakukan. Kami tahu itu, makanya kami mengambil inisiatif…”
“Ceritakan dari awal dong inisiatif kalian, aku tak ingin hanya mendengarkan hasilnya!”
Budiman mematokan pandangan ke Arum, nampaknya dia benar-benar kesal yang justru membuat Arum tersenyum. Kalau dibuat kesal oleh Budiman banyak tapi baru Arum yang membuat dia kesal.
“Baik, tapi kau janji tak akan memotong!”
Arum mengangguk.
“Begini. Ketika aku di rumah nenek, aku dihubungi Hasnah. Katanya kau bisa masuk kampus terkenal tapi bermasalah dalam membiayai kuliah di tahun pertama —semua yakin kau akan dapat beasiswa di tahun kedua. Dia juga ceritakan usaha Kepala Sekolah yang gagal. Aku langsung pulang, teman-teman kukumpulkan. Kami menemukan solusinya, minimal kau bisa kuliah semester pertama…”
“Kenapa aku tak diundang?”
“Jadi, kami sudah mengumpulkan
biaya kuliahmu untuk semester pertama. Kami akan terus berusaha untuk mendapatkan uang kuliahmu di semester dua, kalau tidak sekarang, kami bertekad untuk melakukannya saat engkau kuliah. Yang penting, kau bisa kuliah dulu!” lanjut Budiman sama sekali tak mempedulikan pertanyaan Arum.
“Kalian tak perlu melakukan itu!” haru memaksa Arum memotong.
“Kau mungkin benar, kami telah melakukan hal yang sia-sia. Ternyata sudah ada yang menggantikanmu…”
“Siapa?”
“Serly, anaknya Bu Jati.”
“Wajar, dia kedua setelahku!”
“Iya, data-datanya sudah dikirim. Dia tinggal berangkat. Dengan begitu, muncul masalah baru. Mau diapakan uang yang terkumpul itu? Setelah mendengar dari mulutmu, aku rasa aku ada jalan keluar. Kau masuk saja kampus swasta, atau ikut SPMB. Biaya semester pertama sudah ada, saya yakin bisa men-dapatkan biaya untuk semester ke-dua, bahkan mungkin ada individu yang bersedia membiayai kuliahmu sampai selesai. Belum semua orangtua murid kami hubungi.”
“Jadi uang yang terkumpul itu dari orangtua murid?”
“Dari mana lagi? Apa kau pikir OSIS mafia yang merampok bank?”
“Tapi…”
“Pak Burhan salah strategi. Pertemuan wali murid hanya ter-batas di kelas tiga, sementara yang kelas satu dan dua tidak diundang. Wajar kalau mereka menolak mem-bantu, mereka juga memikirkan anak-anaknya! Maka, kami tak datangi mereka tapi orangtua siswa kelas satu dan dua. Setelah kami jelaskan, mereka langsung meny-umbang. Ini belum semua orangtua siswa kami datangi, termasuk orangtua Yuliana yang kaya itu. Kami sengaja belum mendatangi-nya, siapa tahu mereka mau mengangkatmu jadi anak asuh.”
Arum benar-benar terharu. Dia tak tahu begitu besar pengorbanan kawan-kawannya. Dia berusaha untuk tidak meneteskan air mata.
“Sebenarnya kami sangat berharap kau mau menerima usaha kami, tapi keputusan ada di tanganmu. Kami ini hanya senjata, dimanfaatkan atau tidak, itu terserah padamu, kaulah tuannya!”
“Manfaat apa yang kalian dapatkan dari membantuku?” Arum berusaha bergurau.
Budiman terbahak. “Kau tak senang ekonomi sehingga tak tahu apa itu investasi. Kalau kau kuliah, hargamu akan berjuta kali di masa depan—tak lama, mungkin lima tahun lagi. Saat engkau jadi orang, kami berharap kaupun bisa membantu kami menjadi orang!”
“Sekarang aku bukan orang?”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar