Entri Populer

Kasak Kusuk



Menurut kabar burung, yang maju memperebutkan kursi ketua Sefa tiga orang: Nandang, Mahmud, dan Indra. Mereka semester enam semua. Nandang merupakan atasanku di BPMF. Sedangkan Mahmud dan Indra merupakan pengurus Sefa.
Sebagai bawahan, aku sudah mengenal Nandang. Orangnya pengecut, tak berani merubah sistem di fakultas yang melemahkan mahasiswa. Menurut kabar, Nandang telah melakukan banyak manuver agar jadi ketua BPMF. Tapi mahasiswa masih sama dengan rakyat kebanyakan. Begitu Nandang terpilih, tak pernah dikontrol. Menurutku, ini yang membuat Nandang bisa bergerak bebas sesuka hatinya.
Aku tak akan memilih Nandang!
Mahmud seniorku di omek. Dan omek besar yang selalu menjadi penentu kepemimpinan mahasiswa di kampus itu sudah sepakat untuk menjadikan Mahmud sebagai ketua Sefa. Di mataku, Mahmud memang baik untuk diusung. Dia cerdas dan punya jaringan yang luas. Sayangnya dia terlalu sibuk.

Kasak Kusuk



2
Kasak Kusuk
Dalam keadaan perang
Sehelai rambut sebanding dengan seutas tampar
Sehingga banyak orang yang berubah jadi binatang
Walau mereka beragama
(Auda)
Organisasi mahasiswa mirip dengan organisasi siswa. Di sini juga terdapat ketua kelas yang biasa di sebut komti—komandan tingkat—kelas. Saat pemilihan, aku sama sekali tidak berminat. Walau di sini tantangannya agak berbeda, namun aku tak ingin mencoba. Aku sudah pernah menjabat ketua OSIS, menjadi ketua kelas berarti penurunan. Tapi, saat pemilihan ketua angkatan, aku baru bersemangat. Ketua angkatan akan mewakili aspirasi dua ratus lebih mahasiswa angkatan 94, akan mewakili empat kelas di Fisip. Aku ingin mencoba tantangan yang pertama ini.

Pertemuan



2

Masyarakat terbiasa Mencaci penjahat dan memuji kemuliaan karena mereka yang membuat penjahat dan orang mulia
(Ansy)
Kapal yang kutumpangi melebihi pasar, penumpang bertebaran di mana-mana—di lorong, di bawah tangga, di ruangan-ruangan. Ranjang panjang yang ditiduri lebih sepuluh orang sudah penuh dengan penumpang dari Ternate atau sudah dipesan orang walau belum ditempati. Sulit mendapat tempat. Aku baru mendapat tempat di ranjang panjang itu ketika ada yang turun di Pantoloan.

Bulan



2

Rumah panggung itu hanya milik Tuangi lipu’, yaitu golongan masyarakat di bawah bangsawan, yang berdagang namun tertata apik. Di halamannya yang luas ditanam berbagai aneka bunga, jalan masuk telah diperkeras dengan kerikil. Warung kecil di depan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga menyedapkan mata. Warung itu seperti dapurnya rumah panggung namun lebih indah daripada dapur. Rumah panggung dicat dengan warna kayu, alami namun mengkilap. Gudang kopra sengaja diletakan di belakang rumah agar tak merusak pemandangan.
Hasan dan Hasnah, suami-isteri pemilik rumah, tak bisa lagi memikirkan semua itu. Sebagai pedagang mereka cukup sibuk melayani pembeli, membeli hasil bumi dan memasarkannya. Bulan, anak mereka satu-satunya yang membuat suasana rumah menjadi nyaman seperti itu.

Fokus Cinta



2

Jika kau benar-benar pencinta, tak benar jika pandanganmu mendua karena itu nafsu namanya
(Ansy)
Kepulanganku sangat tiba-tiba. Tak direncanakan. Walau antusias namun orang tuaku tak bisa menjadi sponsor tunggal. Alhamdulillah aku dikarunia bakat menulis. Sebenarnya tak tepat juga kalau dikatakan bakat. Aku menulis karena dipaksa kehidupan rantau. Alhamdulillah tulisanku laku di beberapa media. Dan walau malas menulis surat namun, karena kebutuhan, aku tetap berusaha menulis untuk media. Ditambah sumbangan dari orang tua, honor tulisan itu bisa membeli tiket, cadangan makan di kapal—aku sulit menelan makanan kapal sehingga perlu membeli makan saat transit, dan ke pangkalan angkutan yang akan ke kampungku. Rencananya, aku akan membayar ongkos angkutan itu di rumah.


Pilihan 3



Setelah meninggalnya sang bapak, pembahasan masalah indi-vidu maupun keluarga dikembang-kan secara alami. Karena itu, Arum merasa wajib mengemukakan apa yang dikatakan Budiman pada ibu dan adik-adiknya.
“Apa masalahnya, Mbak? Mbak Arum kan tidak minta bantuan, kalau ditolak, mereka kecewa!”
“Santi benar, Rum. Kamu tak boleh mengecewakan usaha teman-temanmu,” ibunya mendukung.
“Tapi mana ada bantuan yang gratis, Mbak,” kata Arifudin.
“Eh, Budi itu mungkin naksir Mbak Arum. Boleh juga!” goda Ariani.
“Kamu itu, mana sepadan? Budi itu orangtuanya kaya, sedang kita?” muka Arum memerah.
“Lelaki kaya tak apa, Mbak. Asal jangan perempuannya. Tugas lelaki kan menafkahi keluarga!”
“Begitu, ya?” Arifudin menggaruk kepala.

Pilihan 2



Sudah beberapa hari Arum tidak ke sekolah padahal bagi sebagian besar siswa saat perpisahan meru-pakan detik yang paling membaha-giakan berada di lingkungan sekolah. Guru killer tak ada lagi, begitu juga dengan pelajaran-pelajaran aneh dan membosankan. Mereka bebas dari semua itu, bahkan berpakaianpun mereka bebas. Mereka bisa nampang tanpa terlihat bodoh. Yang mereka lakukan di sekolah adalah bergosip; kampus pilihan, itu yang paling banyak dibicarakan. Yang merasa pintar beranda-andai untuk masuk kampus negeri, yang di tengah-tengah akan memilih kampus swasta terkenal, yang sadar dia tidak pintar akan ke kampus swasta yang tidak begitu dikenal—yang penting jadi mahasiswa! Pembicara-an lain tentang pekerjaan, per-kawinan, dan lainnya.
Arum merasa tak ada yang yang perlu dia bicarakan dengan kawan-kawannya. Juga, dia masih kesal dengan tidak jadinya dia kuliah di kampus terkenal itu. Dia belum bisa menerima perlakuan sekolah—guru dan orang tua kawan-kawannya.

Pilihan



Pekerjaan itu sendiri adalah nyanyian pilu, merupakan protes orang-orang yang lemah, Terhadap orang-orang yang kuat (F.W. Faber)
Setelah gagal kuliah, sekarang mendapatkan pekerjaan yang menjadi prioritasnya. Pekerjaan? Kawan-kawannya sering menjadi-kan pekerjaan sebagai bahan guyonan. Kalau kau ingin pekerjaan, banyak; makan-minum, buang air kecil maupun besar, melamun—itu semua pekerjaan. Persoalannya, siapa yang akan membayar? Jadi, yang benar adalah mendapatkan uang dan bukan mencari pekerjaan!
Arum membenarkan pandangan itu, tapi dia tak bisa bergurau. Tak mungkin dia bergurau dengan nasib adik-adiknya. Arisanti sebentar lagi masuk SMA, Arifudin sudah kelas lima SD, Ariani SMP—di tahun-tahun mendatang sekolah ketiga adiknya butuh biaya besar. Hasil kue dan warung tak akan mampu membiayai sekolah mereka. Bagaimanapun, Arum bertekad ketiga adiknya bisa terus sekolah, minimal seperti dirinya—tamat SMA—atau lebih. Arum sering bertanya dalam hati, mengapa Tuhan menjadikan bapaknya hanya sebagai pemberi nama pada mereka?