Entri Populer

1. Pencari Kedamaian




Is..kzh…kzh…huraaa…
Muna riang luar biasa. Sepasang sapi penarik garu yang dia naiki bergerak cepat seakan lumpur tak masalah baginya. Dan Karena sapi tak mempermasalahkan lumpur maka Muna berusaha untuk tidak mempermasalahkannya juga. Celana gombrong hitam yang dia pakai telah penuh lumpur. Muna ingat perdebatannya dengan Tolutuy tadi pagi.
“Bawalah baju ganti, Abo’[i]. Beda dengan kemarin. Saat membajak. Hari ini sawah akan diairi. Lumpurnya kental. Pakaianmu akan kotor nanti,” kata Tolutuy.
“Mengapa takut kotor? Kita ke kebun, kan?!” sambut Muna, dia menggeleng heran.

“Aduh, Abo’. Kita kan melewati kampung-kampung. Ketemu banyak orang, juga banyak gadis. Malulah kalau bajunya penuh lumpur!” Tolutuy nyengir penuh arti.
Muna hanya membalas nyengir. Dia sudah bertemu banyak gadis namun belum ada yang menarik perhatiannya. Dia sama sekali tak malu berpakaian penuh lumpur!
“Lagi pula, Abo’ dan Bua’[ii] pasti akan marah besar. Aku juga yang kena,” tambah Tolutuy, sekarang dia menghiba.
Ini lagi. Orang tua!
Sejak awal orang tua Muna tak setuju dia bertani. Bagi orang tuanya yang bangsawan tulen itu—maksudnya kedua orang tua Muna sama-sama bangsawan—bertani hanya pekerjaan ata[iii] dan masyarakat di bawah strata bangsawan. Seorang bangsawan tak boleh merendahkan diri dengan bermandikan lumpur!
“Tidak perlu,” bentak Muna lagi. Dia ingin tahu reaksi orang tuanya ketika dia pulang dengan bermandikan lumpur. Muna sudah bisa membayangkan orang tuanya yang manyun, terutama bapaknya, dan mengomel panjang-pendek ketika melihatnya penuh lumpur. Muna tersenyum sendiri membayangkan hal itu.
Namun Tolutuy tetap membawa baju ganti. Dan setelah melihat sawah yang akan digaru, Muna menganggap sikap Tolutuy bijaksana. Kalau dia memaksa tetap memakai baju yang dia bawah dari rumah, entah bagaimana bentuk baju itu sekarang.
Is..kzh…kzh…huraaa…
Tolutuy! Tolutuy! Muna ingat bagaimana dia sampai bermandi lumpur seperti sekarang. Semua berawal dari Tolutuy.
***
Tolutuy adalah ata. Dia harus melayani segala keperluan Muna. Entah bagaimana Tolutuy menjadi ata, Muna tak tahu. Ata bisa dari keturunan. Orang tuanya ata maka anaknya akan menjadi ata juga. Namun, setahu Muna, Tolutuy tidak mempunyai orang tua. Bisa juga karena melakukan kesalahan. Namun, kesalahan apa yang telah dilakukan Tolutuy sehingga dia menjadi manusia rendah semacam itu? Muna tak tahu pasti. Yang dia tahu, sejak dia bisa mengenali sekeliling, Tolutuy telah menjadi pelayannya. Bisa jadi…
Ah, sudahlah, desah Muna dalam hati. Toh Tolutuy tak pernah diperlakukan seperti ata. Orang tua Muna, Abo’ Landang dan Bua’ Longkagi, menyayangi Tolutuy karena Tolutuy bersikap seperti namanya—Tolutuy sangat penurut. Bagi Muna, karena seumuran, Tolutuy adalah teman berbagi. Sayang tradisi yang mengekang tak memperbolehkan dia memperlakukan Tolutuy layaknya saudara.
Keberadaan Tolutuy sebagai ata membuat Muna sangat membenci strata[iv] walau dirinya termasuk di strata atas dengan beberapa hak istimewa. Menurut Muna, pembedaan manusia seperti ini sangat tidak adil. Apalagi setelah dia belajar mengaji. Aba’ Mansur, guru mengajinya, selalu bilang bahwa pembedaan manusia berdasarkan keturunan merupakan sistem di masa jahiliyah dan Islam datang untuk menghapuskan sistem jahiliyah itu.
“Menurut Islam, manusia tidak dibedakan dari warna kulit, kekayaan, dan nasab atau keturunan. Yang membedakan manusia hanya amal kebaikan yang dia lakukan. Ini yang akan diperhitungkan di Padang Mashar nanti,” kata Aba’.
Muna tak tahu apa ada Padang Mashar karena dia belum pernah mengunjungi akherat. Namun dia sependapat dengan Aba’ Mansur. Sistem di dunia ini seharusnya mendorong manusia untuk selalu berbuat baik kepada sesama. Bukannya membedakan dan menindas.
Dari membenci sistem, Muna beralih membenci orang, maksudnya bangsawan pongah yang menindas manusia yang berada di bawah kelas mereka. Muna sering “memberi pelajaran” pada putra bangsawan yang berbuat semena-mena. Saat masih belajar mengaji dan pencak di masjid, Muna menghajar mereka di arena. Setelah dewasa, dia tetap memburu mereka. Entah sudah berapa banyak putra bangsawan yang menjadi korbannya.
Suatu hari, Muna dan Tolutuy berjalan-jalan di bandar Kotabangon. Sejak ibu kota kerajaan dipindahkan dari pesisir Bolaang ke pedalaman Kotabangon, Kotabangon telah menjadi bandar yang ramai. Pasar dibangun, masjid dan lapangan serta istana raja yang disebut komalig dan kantor pemerintahan. Macam-macam rupa orang. Yang bermata sipit, bermata besar dan hidung mancung, bahkan yang berkulit putih dan berambut jagung. Para bangsawan senang berjalan-jalan melihat kesibukan bandar.
Muna menunggangi kuda putihnya yang kecil namun kuat dan sigap. Di bawahnya, berjalan kaki, Tolutuy melangkah mantap. Bandar sangat ramai hari itu. Macam-macam barang dagangan. Banyak perempuan, para putri bangsawan beserta ata mereka, mengamat-amati barang dagangan. Namun pandangan mereka beralih begitu melihat Muna. Beberapa melirik genit ke arah Muna.
Muna memang menarik bagi para gadis. Perawakannya yang kokoh karena terlatih kanuragan, wajahnya yang tampan memancarkan ketegasan dan wibawa. Tak ada yang tahu dia sudah berusia dua tujuh sekarang. Termasuk tak ada yang tahu bagaimana cara menarik perhatiannya. Para gadis itu hanya bisa berharap, sementara sang pemuda berlalu begitu saja seakan tak ada yang memperhatikan. Walau Muna tak merasa terganggu dengan pandangan para gadis itu namun dia sama sekali tak membalas perhatian mereka. Muna memang kurang suka pada gadis bangsawan. Menurutnya para Bua’ muda itu terlalu angkuh.
Kalau tak menginginkan putri bangsawan, lalu gadis seperti apa yang dia suka? Muna senang pada gadis yang tak mengandalkan leluhur. Seorang gadis yang mandiri. Yang dia bingungkan, di mana dia mendapatkan gadis semacam itu. Di lingkungan pergaulannya hanya ada para Bua’ muda yang manja.
Sedang asyik mengamati sekeliling, tiba-tiba…
“Hei, kau, angkat ini.”
Bentakan itu mengagetkan Muna. Dia merasa terganggu. Langkah kuda dia hentikan. Seorang pemuda, seumur dengannya, namanya Samuel—biasa dipanggil Uwel, melambaikan tangan ke arah Tolutuy dengan mimik memerintah. Di samping Samuel ada karung, entah berisi apa. Mungkin karung itu yang dia perintahkan untuk diangkat.
Muna menatap Samuel. Dia tak hanya terganggu namun sudah mulai marah.
Saat kecil Muna dan Samuel sama-sama belajar mengaji dan pencak di masjid. Samuel merupakan lawan tertangguh Muna di arena pencak. Walau Muna selalu memenangkan pertandingan namun dia selalu membawa lebam-lebam di sekujur tubuh. Setelah dewasa, masing-masing berusaha saling menghindar agar tak terjadi bentrokan. Namun sekarang, nampaknya Samuel ingin mencoba Muna.
Wajar Samuel ingin mencoba. Perawakannya sekarang sangat berbeda dengan tujuh belas tahun yang lalu. Dulu dia dan Muna masih setara tingginya, begitu juga dengan perawakan. Namun sekarang, Samuel lebih tinggi dan lebih tegap dibandingkan Muna. Juga dia lebih menyeramkan. Wajahnya yang kasar dan kulitnya yang hitam membuat banyak orang langsung mengundurkan diri sebelum memulai pertarungan. Namun dia lupa, Muna masih seperti yang dulu. Muna tidak takut kepada siapapun dan seperti apapun!
Tolutuy tergopo-gopo mendatangi Samuel.
“Diam di tempatmu,” bentak Muna. Tolutuy ragu namun akhirnya diam juga. Muna beralih menatap Samuel. Wajahnya memerah karena marah. “Siapa yang kau suruh? Aku atau dia?” tanya Muna pada Samuel.
“Ya jelas dia, Una. Mana berani aku menyuruhmu,” kata Samuel, tersenyum menghina.
“Dia pelayanku, tak ada yang boleh menyuruhnya selain aku.”
“Ah, mengapa terlalu kaku begitu? Kau bisa menyuruh ata-ku seperti dia milikmu juga.”
“Tidak,” kata Muna, tegas. “Ayo, Utuy.”
Muna sudah menghentakan kaki ke perut kuda, namun Samuel membentak. “Hei, kau tak mau menurut perintahku, hah?”
Tali kekang kuda Muna tarik. Nampaknya terlalu keras dia menarik sehingga kudanya meringkik. Geraham Muna beradu, tinjunya mengepal—cincin besar di jari manisnya siap dicapkan ke pipi Samuel.
“Tidak apa-apa, Abo’. Toh hanya satu karung itu. Aku bisa mengangkatnya,” kata Tolutuy.
“Tidak bisa,” Muna membentaki Tolutuy. Muna memandangi Tolutuy dengan tatapan marah. Tolutuy tertunduk. “Kalau kau menyuruhnya berarti kau berani menyuruhku juga,” katanya, Samuel ditatapnya tajam.
Samuel terkekeh. “Memangnya kenapa? Engkau tak jauh beda dengannya. Kalian bukan orang komalig…”
Tanpa berkata-kata Muna menghentakan kaki, kudanya berlari kencang, menyuruduk ke arah Samuel. Samuel sudah siap, dia melompat. Namun tinju Muna bersarang di rahangnya. Samuel terlempar, jatuh dengan pantat lebih dulu menyentuh tanah. Dia meringis sesaat, berusaha bicara namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Muna menghentikan kudanya. Setengah melompat dia turun. Tinjunya sudah mengepal, wajahnya memerah—muna benar-benar murka. Samuel belum bisa bernapas namun satu tinju sudah bersarang di wajahnya, cincin di jari Muna meninggalkan luka. Samuel tak bisa melakukan perlawanan.
Orang-orang berkumpul namun tak ada yang berani memisahkan. Muna terus menghajar. Sekujur tubuh Samuel kena tinju dan kakinya.
Seorang datang, berkulit sawo matang tapi berseragam tentara Belanda. “Hei, berhenti,” teriaknya. Dia mendekati Muna yang sudah membabi buta, tangannya berusaha menarik Muna namun Muna benar-benar dalam keadaan marah. Dia berbalik, tinjunya melayang, menghajar wajah sang Belanda hitam yang tidak siap. Tentara Belanda itu terjengkang.
Tolutuy panik. Kalau Muna hanya menghajar para bangsawan, akibatnya tak terlalu berat. Paling-paling Abo’ Landang dan Bua’ Longkagi harus bersujud dan memohon ampunan pada orang tua yang tuannya hajar. Namun sangat lain jika berurusan dengan Belanda. Tolutuy meloncat, dia memegangi tangan Muna.
“Ini saya, Abo’,” kata Tolutuy, dia ngeri melihat tangan tuannya yang sudah mengepal, berada tepat di atas kepalanya, siap menghantam. “Sudahlah, Abo’. Sudah. Ayo kita pergi.” Tolutuy terus menarik Muna, menjauh. Muna menurut saja. Orang-orang heran. Baru sekali ini ata menyuruh tuannya dan sang tuan mau mendengarkan.
“Awas kalau kau berbuat semena-mena seperti ini lagi,” bentak Muna ke Samuel yang masih pucat bagai tak berdarah. Muna sama sekali tak memusingkan tentara Belanda yang belum bisa bangun itu. Dia sudah lama membenci Belanda dan antek-anteknya. Dia bersyukur punya kesempatan dan alasan untuk menghajar salah satu dari mereka.
Muna sama sekali tak takut!
Di rumah…
Walau bukan peristiwa penting yang harus dikabarkan namun peristiwa itu menyebar. Abo’ Landang dan Bua’ Longkagi telah tahu sebelum Muna sampai. Mereka terperanjat.
Bukan baru sekali Abo’ Landang dan Bua’ Longkagi direpotkan dengan ulah Muna. Muna tak pernah melihat pangkat orangnya kalau ingin menghajar. Kalau yang dihajar hanya anak bangsawan yang darahnya sudah bercampur—hanya salah satu yang bangsawan—atau kedua orang tuanya sama-sama bangsawan namun tak memegang pemerintahan (sama seperti orang tua Muna) maka tak masalah sepanjang Muna memenangkan perkelahian. Namun jika yang Muna hadapi orang tuanya termasuk orang dalam komalig, akan sangat repot. Abo’ Landang dan Bua’ Longkagi akan dipanggil, mereka harus menghadap dengan posisi bersimpuh, mengatur kata, memohon maaf dan ampunan.
Kasihan betul!
Namun yang terjadi sudah-sudah belum apa-apa dibandingkan sekarang. Selain menghadapi Abo’ Yusuf, orang tua Samuel, yang termasuk orang dalam komalig, mereka juga harus menghadapi Belanda.
Menghadapi Abo’ Yusuf, tak begitu memunculkan masalah. Paling jauh Muna akan dihadapkan pada Datu dan kalau Datu tak mengampuni, paling-paling Muna dibuang ke Sangkub untuk beberapa lama. Namun menghadapi Belanda dan hukumnya sungguh mengerikan. Kata orang-orang, pribumi yang melawan Belanda, apalagi sampai memukul, kalau tidak dihukum mati maka akan dibuang ke negeri anta beranta yang orang tua Muna tak tahu di mana tempatnya.
Belanda keparat! Mereka telah mencuri kekayaan alam Bolaang Mongondow dan sekarang akan mencuri seorang anak satu-satunya dari bangsawan yang terhormat. Abo’ Landang dan Bua’ Longkagi ingin marah namun mereka tak tahu harus berbuat bagaimana. Datu saja tak berani melawan terang-terangan, apalagi diri mereka yang menjadi orang komalig saja tidak.
Terdengar derap kuda di halaman rumah. Dari suaranya Abo’ Landang tahu itu anaknya. Dia masuk kedalam. Abo’ Landang punya cambuk dari rotan. Telah lama dia tak menggunakan cambuk itu. Sejak Muna akil balig. Namun, kali ini dia benar-benar marah. Dia merasa perlu menggunakan cambuk itu.
Muna menaiki anak tangga. Satu-satu. Perlahan-lahan. Dia tahu orang tuanya sedang menunggu dengan marah. Tolutuy langsung ke kandang kuda.
“Cepatlah ke sini, anak bodoh,” teriak Abo’ Landang, dia sudah di pintu, di tangan kanannya tergenggam erat cambuk rotan.
“Ada apa denganmu, Abo’? Apa kau ingin menghajar anak kita? Apa untuk dihajar kita membuat anak?” Bua’ Longkagi kaget melihat suaminya memegang cambuk. Saat Muna kecil, Bua’ Longkagi selalu membelanya jika sang suami hendak memberi pelajaran pada Muna. Bahkan dia rela tubuhnya dijadikan sasaran cambuk. Wajar. Dia dan Abo’ Landang lama mendapatkan anak. Dan hanya Muna satu-satunya anak.
“Anak ini benar-benar tak tahu diri. Bodoh!” Abo’ Landang sudah maju. Cambuk telah dia angkat.
Bua’ Longkagi menghalangi. Kalau suaminya memukul, pasti dia yang kena. “Ingat, Abo’. Aku melahirkan anak bukan untuk dipukul,” katanya, menantang.
Abo’ Landang kesal namun tak bisa berbuat apa-apa. Cambuk dia buang. “Nasehati anakmu agar tidak merepotkan orang tua terus,” katanya. Kekesalannya belum terobati. Dia masuk ke dalam rumah.
Bua’ Longkagi membimbing anaknya ke kursi di beranda.
“Aduh, Abo’. Kenapa engkau ini? Apa yang ada di pikiranmu? Apa kau pikir akan mudah menyelesaikan masalah dengan Abo’ Yusuf?…”
“Anakanya salah, Ina’. Samuel memerintah orang sembarangan seakan dialah Datu,” Muna membela diri.
“Apa dia menyuruhmu?”
“Bukan aku, Ina’. Tolutuylah yang dia suruh.”
“Ah, kau ini,” Bua’ Longkagi menarik napas. “Dengar, Abo’. Walau kau sayang padanya namun Tolutuy itu tetap ata. Engkau tak layak membelanya kalau dia tidak disiksa.”
“Samuel tidak meminta padaku,” Muna ngotot.
“Iya. Tapi tetap engkau yang salah. Orang tuanya orang komalig. Dia berhak atas diri Tolutuy.”
“Tolutuy ata kita atau mereka?”
“Ya ata kita. Tapi…”
“Maafkan saya, Ina’. Kalau benar Tolutuy ata kita maka kita yang berhak atas dirinya. Bukan orang lain, sekalipun orang komalig.”
“Ah, engkau ini tak bisa diajak bicara.”
Walau mempersalahkan anaknya namun orang tua Muna tetap cemas. Muna anak satu-satunya. Bagaimanapun harus dibela. Dan mereka semakin cemas ketika yang terjadi tak seperti biasanya.
Biasanya hanya beberapa jam setelah Muna menghajar anak orang, suruhan orang tua yang dihajar akan datang. Abo’ Landang disuruh menghadap. Namun kali ini tidak. Dua hari sudah peristiwa pemukulan itu terjadi namun suruhan Abo’ Yusuf belum juga datang.
Biasanya, jika Abo’ Landang disuruh menghadap, pembicaraan dengan orang tua korban akan lancar. Hanya dengan merendah—hanya dengan tumonsiup, masalah akan beres. Orang tua korban akan memaafkan dan memaklumi. Begitulah anak muda!
Belum lagi urusan dengan Belanda keparat itu. Abo’ Landang sudah memperhitungkan Belanda akan menyerbu dengan pasukannya. Namun sampai dua hari ini belum ada satu pasukanpun yang datang.
Pertanda apakah ini?
Perkara ini perkara besar. Selain melibatkan Abo’ Yusuf yang orang komalig, juga melibatkan tentara Belanda. Mungkin saja perkara ini sudah sampai di komalig. Datu akan terlibat. Orang tua Muna sudah pasrah seandainya Muna dibuang ke Sangkub untuk beberapa lama. Muna sudah dikurung di dalam rumah dan siap diserahkan kapanpun dan seperti apapun hukuman yang akan dijatuhkan padanya. Namun harus Datu yang menghukum. Jika Belanda yang menghukum, Muna akan dilarikan. Risiko apapun yang ditempuh, Muna tak boleh diserahkan pada Belanda dan hukumnya.
Pada hari ketiga, Abo’ Landang dan Bua’ Longkagi sedang di beranda rumah panggung. Menyeruput kopi dan makan pisang rebus. Namun pikiran mereka tak di sana. Mereka sedang memikirkan apa yang akan mereka lakukan.
“Pergilah ke Abo’ Yusuf, Abo’. Mohonlah padanya agar bisa meringankan hukuman untuk anak kita,” kata Bua’ Longkagi.
“Engkau saja yang pergi. Engkau yang bisa menawar hatinya,” kata Abo’ Landang sinis.
Bua’ Longkagi terdiam.
Saat muda kecantikan Bua’ Longkagi cukup dikenal, banyak putra bangsawan yang bertandang hanya untuk menikmati kopi dan kecantikan wajahnya. Dari sekian banyak Abo’, Landang dan Yusuf yang bersaing ketat. Abo’ Landang tampan sedangkan Abo’ Yusuf sudah bekerja di pemerintahan. Bua’ Longkagi memilih ketampanan sedangkan orang tuanya memilih ketenangan di masa depan. Sebagai anak, Bua’ Longkagi jelas kalah. Namun dia melawan. Dia melarikan diri bersama Abo’ Landang.
Melarikan anak gadis orang merupakan aib pada waktu itu. Keduanya hampir dibuang ke Sangkub. Namun Datu mengganti hukuman mereka. Mereka tak boleh menduduki jabatan di pemerintahan.
Abo’ Yusuf ternyata tak pernah bisa marah pada Bua’ Longkagi. Bahkan Bua’ Longkagi selalu bisa memadamkan amarahnya. Justru Abo’ Landang yang sering dilanda cemburu karena kata-kata Abo’ Yusuf masih menyiratkan pengharapan. Seakan-akan Bua’ Longkagi masih anak gadis. Namun sebagai orang yang berhadapan dengan pejabat kerajaan, dia dan isterinya hanya bisa mendiamkan.
“Saya tak akan ke sana,” putus Bua’ Longkagi.
Abo’ Landang tak menanggapi. Pandangannya menerawang. Ada penyesalan dalam hatinya. Sebenarnya dia dan Abo’ Yusuf sama, bahkan terkadang Abo’ Landang merasa lebih pintar. Namun Abo’ Landang tak begitu mempedulikan masa depan. Dia lebih senang memacari gadis-gadis—sifat yang tidak menurun pada Muna—sampai akhirnya hatinya terpaut pada Bua’ Longkagi. Kalau waktu itu dia bekerja di pemerintahan juga, rasanya dia tak perlu melarikan sang Bua’ dan dihukum dengan tidak bisa bekerja di kerajaan.
Ah, andai waktu bisa diputar kembali, Abo’ Landang akan memanfaatkan masa muda. Dia akan menjadi pejabat penting kerajaan. Kemudian akan melamar Bua’ Longkagi. Dia tak menyesal telah menikah dengan isterinya. Dia sangat mencintai Bua’ Longkagi. Namun akibat dari memaksakan diri menikah yang memunculkan sesal.
Tidak duduk di pemerintahan membuat dia seperti kambing yang harus menurut ke mana sang tuan menarik dirinya. Ini membuat Abo’ Landang merasa terhina.
Derap kuda di pekarangan menghentikan penyesalan Abo’ Landang. Siapakah? Dia melongokan kepala. Jantungnya langsung berdetak keras. Perawakan yang jangkung dan kumis melintang semakin membuat Abo’ Yusuf terlihat menyeramkan. Mengapa dia sendiri yang datang? Mengapa tak memerintahkan pesuruh?
“Ke dalam. Cepat. Buatkan kopi. Kau harus mengantar sendiri ke sini. Muna kau sembunyikan. Cepatlah!” Abo’ Landang benar-benar panik.
Bua’ Longkagi bangkit. “Bure…,” umpatnya, kain cariknya tersangkut di kursi. Setelah melepaskannya, dia cepat-cepat ke dalam. Muna yang sedang menguping dia tarik tanpa bicara.
“Kita seperti mau perang saja,” gurau Muna.
“Tutup mulutmu,” bentak ibunya.
Di depan, Abo’ Landang tergopo-gopo menyambut Abo’ Yusuf. Dengan cepat dia menuruni tangga. Hampir tergelincir dia.
“Aku sedang berencana ke rumahmu, Abo’. Namun ternyata Abo’ yang mendahului ke gubukku. Abo’ sungguh baik budi,” seru Abo’ Landang, merunduk-runduk dia.
“Mana Muna?” bentak Abo’ Yusuf.
“Anak kita itu sedang ke luar, Abo’. Dia berburu burung untuk makan malam nanti,” bohong Abo’ Landang. “Masuklah dulu baru kita bicara.”
Dengan angkuh Abo’ Yusuf menaiki tangga. Wajar. Kalau dihitung-hitung Abo’ Yusuf lebih tinggi derajatnya daripada Abo’ Landang karena dia merupakan pejabat kerajaan. Selain itu, dia punya alasan untuk marah-marah. Anaknya telah dibuat babak belur oleh Muna.
“Sudah terlalu sering anakmu membuat ulah, Andang. Dia harus dihadapkan pada Datu,” Abo’ Yusuf mengancam.
Abo’ Landang tersenyum namun lebih menyerupai lengkungan yang patah. Di buat seperti apapun, kalau dihadapkan pada Datu, pasti perkara itu akan dimenangkan Abo’ Yusuf. Bagaimanapun Abo’ Yusuf lebih dekat dengan Datu. Karena itu Abo’ Landang terus merendah.
“Ah, masalah ini kan bisa kita selesaikan, Abo’. Tak perlulah melibatkan Datu. Datu sudah terlalu sibuk mengurusi rakyat. Kasihan kalau kita melibatkan beliau juga. Silahkan duduk, Abo’,” Abo’ Landang mempersilahkan.
Dengan anggun Abo’ Yusuf duduk. Bua’ Longkagi yang biasanya hanya menyuruh ata jika ada tamu sekarang harus membawa sendiri kopi dan panganan. Sangat jelas orang tua Muna merendah.
“Silahkan diminum, Abo’,” kata Bua’ Longkagi.
Abo’ Yusuf tersenyum ke arah Bua’ Longkagi, mengangguk dan menyeruput. “Kopi buatanmu masih seperti dulu, Agi. Masih juga pas di leherku padahal itu sudah berpuluh tahun yang lalu,” katanya.
Bua’ Longkagi memerah wajahnya, sedangkan Abo’ Landang manyun.
“Masa lalu memang indah, Abo’. Tapi sekarang nampaknya semua sudah berubah. Mengapa anak membuat kita seperti bermusuhan?” kata Bua’ Longkagi masih merendah.
Abo’ Yusuf tersenyum. “Sekarang zamannya orang berhitung, Agi. Kita bisa menghitung akibat yang harus kita bayar,” katanya.
Abo’ Landang dan isterinya saling pandang.
“Oh, tidak. Aku tak akan merusak rumah tangga kalian,” kata Abo’ Yusuf. Tersenyum dia. “Kalian pasti tahu apa yang kumaksud?!”
“Tentu saja kami tahu, Abo’. Terimakasih sudah menegaskan,” kata Abo’ Landang. Dia sangat tahu apa yang diinginkan Abo’ Yusuf. Apalagi kalau bukan uang? Untuk orang seperti Abo’ Yusuf tak ada gunanya mengejar cinta dari seorang wanita yang pernah cantik di masa muda, toh masih banyak wanita muda lain yang lebih cantik. Dia bisa mendapatkan gratis saat berkunjung ke daerah. “Kami tahu kita masih bisa berbicara sebagai sesama Mongondow, Abo’. Namun, bagaimana dengan tentara Belanda itu?”
Abo’ Yusuf terkekeh. “Datu membenci Belanda, Andang. Datu tak akan membiarkan rakyatnya mereka hukum. Beliau akan membela anakmu. Namun yang seperti ini jangan sampai terulang karena kekuatan Belanda itu lebih besar dari kita. Kita tak akan sanggup menghadapi mereka. Lagi pula, terlalu remeh jika kita berperang hanya karena anakmu membuat ulah.”
“Iya, saya tahu. Maaf telah merepotkan,” Abo’ Landang benar-benar merendah. Dia menarik napas lega.
Berhari-hari kemudian, ternyata tak ada tentara Belanda yang datang menjemput Muna. Mungkin Abo’ Yusuf benar, Datu telah membela Muna. Mungkin juga yang dipukul Muna hanya tentara hitam entah dari mana sehingga Belanda merasa tak layak dibela. Yang jelas, tak ada tentara yang datang menjemput Muna. Walau demikian, Abo’ Landang dan Bua’ Longkagi tetap cemas. Muna dipanggil.
“Apa maumu? Sudah berkali-kali kau menyeret kami dalam masalah seperti ini. Apa kau ingin kami membusuk di Sangkub atau di penjara Belanda?” bentak Abo’ Landang.
Seperti biasa Muna diam saja.
“Maksud Ama’ baik, Una. Engkau harus belajar menahan diri agar tidak timbul masalah yang lebih besar,” kata Bua’ Longkagi lembut. Kemudian dia menarik napas dan tersenyum. “Ya, memang agak sulit menahan diri pada orang seperti kamu ini. Kamu belum punya tanggungan. Yang kau pikirkan baru dirimu sendiri. Kalau kau sudah punya tanggungan, kami yakin kau tidak akan macam-macam. Selain itu, pasti kamu akan selalu diingatkan.”
Muna masih diam. Sebenarnya dia sudah tahu maksud ibunya namun dia menunggu diperjelas.
“Kau ini sudah cukup umur, bahkan sudah tua. Lihatlah orang-orang seumur denganmu, anak mereka sudah banyak. Sedangkan kamu, sampai sekarang kerjamu hanya berkelahi. Apa badanmu tak sakit? Menurut kami, sebaiknya kamu segera mencari isteri agar tidak berbuat seperti ini lagi. Engkau yang mencari atau kami yang akan mencarikan?”
Muna nyaris terkekeh. Baru sekarang orang tuanya memperjelas keinginan mereka.
“Kami sudah mencarikan yang tepat untukmu, bahkan kami bisa mendekatkanmu dengan anak Datu. Dia tak akan menolakmu, Una, dan kalau dia setuju maka orang tuanya pasti akan setuju juga.”
Anak Datu? Apa yang orang tuanya harapkan dari pernikahan dengan keturunan Datu? Kedudukankah? Muna tak tahu anak perempuan Datu mana yang diinginkan orang tuanya, Muna juga tahu Datu tak seperti bangsawan pada umumnya; Datu masih benar-benar mengurusi rakyat, bahkan Datu menentang Belanda diam-diam demi rakyat. Namun Muna sadar keinginan orang tuanya bukan tanpa maksud dan Muna tak ingin pernikahannya—dengan siapapun—ditumpangi dengan keinginan orang lain, termasuk keinginan orang tuanya. Jelasnya, Muna takut pada keinginan orang tuanya.
“Biarlah semua berjalan seperti kehidupan, Ina’, Ama’. Rejeki, jodoh, dan kematian ada di tangan Tuhan. Jodohku tak akan ke mana kalau waktunya sudah tiba…”
“Terserah padamu,” potong Abo’ Landang, Abo’ Landang kurang senang agama diikut-ikutkan dalam pembicaraan. “Yang penting kau tidak berkelahi lagi kami sudah senang.”
Tak berkelahi tak masalah bagi Muna. Namun membiarkan bangsawan yang pongah rasanya sulit juga. Bukan tangan yang sakit tak pernah menghajar mereka namun hatinya gelisah melihat kesewenangan merajalela. Muna harus menemukan pengganti untuk mengalihkan perhatian.
Kebetulan di pasar harga daging anoa, orang Mongondow biasa menyebutnya bantong, dan rusa cukup mahal, dan ini menarik bagi Muna. Dia segera menyuruh tukang besi untuk membuatkan parang, tombak, dan mata panah, untuk berburu. Muna yakin orang tuanya tahu dia akan menjadi pemburu namun mereka diam saja, berarti boleh.
Dimulailah petualangan baru Muna. Semua benar-benar baru. Benar-benar merupakan pengalihan. Keramaian bandar telah beralih menjadi kesunyian hutan, keasyikan memukuli orang berubah menjadi membunuh binatang.
Berburu benar-benar menantang. Awalnya Muna mengira berburu hanya mengandalkan pisik. Memanah, melempar tombak, menebaskan parang. Muna cukup ahli untuk memainkan alat-alat itu. Namun ternyata tak cukup mengandalkan pisik. Di awal dia berburu, dia harus tinggal di hutan berhari-hari baru mendapat buruan. Ternyata ketenangan, ketelitian, dan kesabaran sangat diperlukan saat berburu. Ada waktunya hanya mengintip, mengejar, memanah, melemparkan tombak atau menebaskan parang. Akhirnya, dalam sehari dia selalu mendapat buruan, minimal satu. Dan terlalu sering mendapatkan buruan memunculkan kebosanan.
Suatu hari, saat berburu di seputar pegunungan Pasi, dia mendapatkan bantong yang kuat. Sang bantong tidak melawan tapi sangat pintar. Sang bantong seakan mempermainkannya. Dia tak pernah jauh dari kuda Muna. Namun, ketika tombak dilepas, dengan tangkas dia menghindar, seakan punggungnya punya mata. Ketika mereka sejajar, Muna mengayunkan parang, namun dengan gesit sang bantong berhenti, parang menebas angin. Lima jam lebih sang bantong menguji kesabaran Muna.
Akhirnya dia terjebak di semak-semak. Tombak dilempar, tepat kena punggungnya. Sang bantong kesakitan dan berbalik arah, dengan marah dia berlari kencang ke arah Muna. Muna menghindar dan mencabut parang namun tak sempat menebaskan karena bantong secepat kilat. Dia lari, turun dari bukit, ke ladang penduduk. Muna memacu kudanya. Kejar-mengejar terjadi di kebun. Padi ladang yang baru mulai berbutir rebah. Akhirnya sang bantong capek juga, darah terlalu banyak keluar dari tubuhnya. Dia rebah, Muna berteriak gembira.
Tolutuy datang, napasnya tersengal-sengal. Walau Muna menganggap semua manusia sama namun orang tuanya tidak. Tolutuy hanya ata, karena itu tak diperbolehkan mengendarai kuda. Dalam berburu, tugasnya hanya menghalau serta membawa buruan.
Tak lama setibanya Tolutuy, pemilik kebun datang. Dia membawa parang. Dia mengomel panjang-pendek. Bahkan mengayun-ayunkan parang ke arah Muna. Dia menantang duel.
Diuji kesabaran oleh bantong dan sekarang ditantang berkelahi. Andai yang menantang sesama bangsawan pasti Muna akan langsung turun dan menghajar orang itu. Tapi, sekarang petani yang menantang. Dia tidak tega. Karena itu, dia diam saja.
Tolutuy bicara atas nama tuannya.
“Maafkan kami, Ama’, sudah merusak kebun. Kalau Ama’ merasa dirugikan, sebutkan saja berapa kami harus mengganti. Tuan saya ini, Abo’ Muna, anaknya Abo’ Landang dan Bua’ Longkagi dari Kotabangon, insya Allah siap mengganti.”
Mendengarkan silsilah yang demikian jelas, orang tua itu terdiam. Wajahnya berubah dari merah karena marah ke pucat. Dia seperti baru bertemu hantu.
“Ah, maafkan saya, Abo’. Maafkan kelancangan saya,” orang itu menyeruduk, nyaris mencium kaki Muna yang masih di atas kuda. Muna menyuruhnya menjauh dan turun.
Muna tertawa dalam hati, kebiasaan ini benar-benar aneh. Para bangsawan hampir seperti nabi, tak berdosa kalau menindas yang lemah. Tanpa merendah, Muna minta maaf juga.
“Maafkan saya sudah merusak kebun milik Ama’. Kalau Ama’ berkenan, sebutkanlah harga yang mesti saya bayar.”
orang itu semakin sungkan.
“Ah, tidak. Jangan. Jangan begitu, Abo’,” gagap orang itu.
Muna terdiam. Sesaat. Dia merasa tertantang. “Apa yang kau inginkan?” tantang Muna.
Orang itu mendunduk. "Semua yang hidup pasti mati, Abo’. Dan yang mati bisa diganti. Tapi yang hidup mohon jangan dimatikan," kata orangtua itu bersahaja.
Aneh. Andai dia bukan bangsawan pasti petani itu sudah menyabung nyawa dengannya. Hanya untuk beberapa bagian padi yang rebah dan berani menyabung nyawa ini sungguh luar biasa bagi Muna. Apa hebatnya dengan tanaman-tanaman itu?
Seminggu lebih Muna di rumah, memikirkan kejadian itu.
"Bertani beda dengan pekerjaan lain, Abo’. Dia menanam kehidupan dan tak akan mau menghilangkan kehidupan itu sebelum waktunya. Jika ada yang coba-coba menghilangkannya, dia akan melawan. Nyawapun tak ada harganya. Lihatlah orang tua itu!” Tolutuy menjelaskan.
Menanam kehidupan? Muna tahu itu hanya pengandaian. Tapi, apa seluar biasa itu petani? Muna ingin merasakan sendiri. Dia mengajak Tolutuy ke kebun untuk mengajarinya bertani.
Muna berkuda diiringi Tolutuy. Muna merasa aneh dengan dirinya. Tanpa busur, tanpa anak panah, tanpa parang berburu, dia merasa ke luar rumah telanjang. Namun ketelanjangan yang aneh, ketelanjangan yang menantang. Dia merasa akan menjemput baju baru. Sebentar lagi, kalau Yang Di Atas menentukan begitu, dia akan menggantung baju pemburu dan menggantinya dengan baju petani.
Sepanjang perjalanan, deretan kebun yang membatasi setiap kampung yang dia lewati mulai dari Mogolaing, Mototoboi, Poyowa, Kopandakan, menjadi pusat perhatiannya. Akhirnya mereka sampai juga di perkebunan Mopait. Sebagian kebun di sana telah dijadikan sawah berdasarkan perintah Abo’ Abraham Patra Mokoginta yang waktu itu menjabat Mantri Culture. Namun Tolutuy membawa mereka ke kebun kelapa.
"Ini pisang, Abo. Kesukaanmu kan pisang maka kita mulai dari pisang," kata Tolutuy dengan senyum, "coba kita ambil anakan satu-satu. Abo’ perhatikan cara saya mengambilnya."
Muna memperhatikan betul cara Tolutuy memisahkan anakan pisang itu dari rumpun induknya. Mula-mula Tolutuy menggali anakan kemudian memisahkannya dari rumpun dengan sekali tebasan, dan terpisahlah satu anakan.
"Coba Abo’ sendiri yang mengambil," kata Tolutuy sambil mengangsurkan parang.
Muna mencoba meniru cara Tolutuy. Parang biasa dia pergunakan untuk menebas buruan namun sekarang digunakan untuk menggali dan menebas anakan pisang. Agak kaku caranya bekerja namun akhirnya berhasil juga.
"Sekarang, biar saya buatkan lubang untuk menanamnya." Tolutuy mulai membuat lubang. Selesai yang satu kemudian membuat lubang yang lain lagi. "Sekarang kita mulai tanam. Saya di sini, Abo’ di sana."
Muna mengikut petunjuk Tolutuy. Itu tanaman pertama yang dia tanam.
Sepulang dari kebun, orang tuanya memarahi. Kata mereka, bertani bukan pekerjaan seorang putra bangsawan. Namun, justru ini membuat Muna semakin tertantang. Mengapa pekerjaan ini begitu rendah bagi putra bangsawan? Apa seorang Abo’ tidak membutuhkan makan?
Setiap hari dia ke kebun, melihat tanamannya. Orang tuanya terus mengomel. Muna kesal juga, namun bukan itu yang membuatnya berpaling dari bertani. Bosan, itu yang dia rasakan. Pisang itu seperti tak ada perkembangan padahal dia sudah menyiangi, bahkan menyiramnya. Jiwa berburunya kembali muncul. Seminggu lebih dia tinggalkan tanamannya. Bantong dan rusa kembali menjadi korban.
Yang mengasyikan dari berburuh adalah berpindah-pindah tempat saat mengejar buruan. Dan kali ini rusa itu berhasil ditaklukan tak jauh dari kebun. Melihat kebun, dia teringat tanamannya. Muna singgah untuk melihatnya.
Alangkah kagetnya Muna. Pisang yang dia tanam sudah berantakan. Kata Tolutuy, itu perbuatan babi hutan. Muna marah besar. Dia mempermaklumkan perang kepada semua babi. Dia memburu babi dengan semangat balas dendam untuk satu pohon pisangnya, tapi juga tidak menggantinya dengan yang baru.
Tolutuy mengingatkan: "Abo’, yang sudah tak ada bisa diganti, yang masih ada dijaga."
Muna tersadar. Sejak saat itu dia menyenangi dunia kebun, dunia pertanian. Dia bolak-balik setiap hari dari rumah panggungnya yang megah ke kebun. Berbagai jenis tanaman dia tanam. Apalagi saat menjabat Mantri Cultures, Abraham Patrah Mokoginta, mendatangkan tanaman yang baru dikenal masyarakat. Omelan orang tuanya tidak dia pedulikan. Juga keinginan orang tuanya agar dia segera menikah dan menghadiahkan cucu kepada mereka. Para Bua’ benar-benar tak menarik perhatiannya, bahkan dia muak dengan mereka.
***
Is..kzh…kzh…huraaa…
Sekarang Muna jauh dari keramaian bandar, jauh dari hutan tempat buruan bersarang. Sekarang dia lebih sering di kesunyian kebun. Dan sekarang dia belajar mengerjakan sawah. Bermandikan lumpur. Untung Tolutuy membawa baju ganti.
Is..kzh…kzh…huraaa…




[i] Abo’ : Gelar untuk bangsawan pria
[ii] Bua’ : Gelar untuk bangsawan perempuan
[iii] Ata: Budak
[iv] Strata: Pembedaan manusia berdasarkan kelas-kelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar