Blog ini berisi tulisan Anuar Syukur, seorang dari pelosok Sulawesi Utara (Bolaang MOngondow Raya) yang biasa memakai nama alias Anuar Totabuan Syukur, mulai dari serius sampai diserius-seriuskan
Di akhirat, amal perbuatan yang membedakan manusia. Di dunia, harta dan kedudukan pembedanya. Lalu, kapan manusia sama? (Ansy)
Seperti biasa, Arum bangun menjelang subuh. Ibu dan tiga adiknya juga. Setelah sholat, dia membantu ibunya di dapur. Mempersiapkan segalanya. Tak seperti kemarin-kemarin, kali ini dia santai. Kenapa buru-buru? Dia bukan siswa lagi walau belum menerima ijazah dan memang harus ke sekolah untuk mengantar kue buatan ibunya yang dititipkan di kantin sekolah.
Kak Juanda, begitu kami biasa memanggil orang yang menjemputku itu, satu kampung denganku namun sudah lama berada di Jakarta. Mungkin sudah tujuh atau delapan tahun. Kalau dia pulang akan sangat jarang berada di rumah. Bersama Oom Iman dia selalu berjalan mengelilingi Bolaang Mongondow, entah ke mana dan ke siapa saja. Namun dia selalu menyempatkan bertemu dengan kami, anak muda yang akan lulus SMA. Tahun lalu dia pulang dan bicara lama dengan kami tentang pentingnya merantau dan membangun daerah. Entah mengapa aku lupa menjadikan dia sebagai contoh perantau ke Jawa yang sukses saat berdebat dengan papa.
Tanjung Periuk, pukul 10.13. Hawa panas. Matahari bersinar gagah. Aku berdiri tak acuh di anjungan dengan memakai topi dan jaket merah menyala, pakaian aneh untuk siang terik seperti ini. Beberapa orang memandangku tapi aku tak merasa. Aku menatap ke depan, ke tempat penjemput, tapi aku tak melihat siapa-siapa. Yang kulihat dan rasakan hanya diriku, yang kuhirup hanya damainya hawa kebebasan.
Kalau tidak maka dia hanya hubungan darah yang tak punya arti apa-apa (Ansy)
AKU masih terpaku di luar rumah itu. Rumah kecil yang belum rampung nampaknya akan roboh sebelum selesai. Kenyataan bahwa rumah itu milik salah satu adiknya Ibuku membuat hatiku miris. Namun bukan itu yang membawaku ke sini.
Muna riang luar biasa. Sepasang sapi penarik garu yang dia naiki bergerak cepat seakan lumpur tak masalah baginya. Dan Karena sapi tak mempermasalahkan lumpur maka Muna berusaha untuk tidak mempermasalahkannya juga. Celana gombrong hitam yang dia pakai telah penuh lumpur. Muna ingat perdebatannya dengan Tolutuy tadi pagi.
“Bawalah baju ganti, Abo’[i]. Beda dengan kemarin. Saat membajak. Hari ini sawah akan diairi. Lumpurnya kental. Pakaianmu akan kotor nanti,” kata Tolutuy.
“Mengapa takut kotor? Kita ke kebun, kan?!” sambut Muna, dia menggeleng heran.
Dia ada di masa lalu, namun terus saja membuntuti hidup kita
(Ansy)
Seperti namanya, Nur adalah cahaya. Dia bintang sekolah! Bukan sekadar bintang di pelajaran tapi juga dikecantikan, kebijaksanaan dan kesederhanaan. Sebagai bintang, banyak yang menyukainya. Anak pejabat dan kaya mendekatinya. Namun, entah mengapa, dia malah memilih dekat denganku yang tak punya apa-apa. Memang aku kedua setelah dia. Tapi umumnya perempuan yang akan lebih memilih mendekati lelaki yang punya kelebihan dibandingkan dengannya. Ya, mungkin juga Nur memang bukan perempuan yang umum!
Walau sebatas karib di sekolah karena entah mengapa kami tak pernah ingin saling mengunjungi rumah, kawan-kawan menyangka kami pacaran.
Pacaran? Heh!
Dia bilang di kamusnya tak ada istilah “pacaran”. Dia hanya punya “teman yang bisa saja menjadi suami”. Dan dia bilang aku adalah teman! Apa berarti aku bisa jadi suami? Aku ingin bertanya namun mulutku terkunci.