1
Beban
Luar biasa. Pendi penjahat namun pemakamannya melebihi pejabat. Kapolres dan Dandim datang, juga beberapa pejabat. Mungkin ini pengaruh dari Letnan Kolonel Arif Pambudi alias Papa Harnum. Masyarakat juga tumpah, jelas mereka ingin melihat Effendi Kokait alias Pendi, penjahat yang telah mempopulerkan daerah terpencil ini, Bolaang Mongondow, sampai ke Jakarta.
Aku yakin banyak pelayat mencemooh Pendi, juga mencemooh kami, anggota keluarga besar Kokait. Namun, ketika Papa Harnum tampil, air mata banyak yang mengalir, isak tangis terdengar di mana-mana.
Dengan lugas beliau menguraikan perjalanan hidup Pendi. Mulai dari kasus di pertambangan illegal Doloduo, mencari penghidupan di Jakarta yang mencari yang haram saja susah terlebih yang halal, terlebih bagi orang terbuang seperti Pendi. Berulang kali beliau bilang bahwa Pendi hanya salah satu korban aparat. Pendi korban dari perilaku buruk aparat dan pandangan negatif masyarakat, kata Papa Harnum. “Tak ada yang bercita-cita jadi penjahat namun tanpa sadar kita membuat orang jadi jahat!” katanya marah.
Di sudut, diantara keluarga besar dan beberapa undangan, air mataku mengalir.
***
Setelah pemakaman kuajak Harnum duduk di sudut.
“Kematian Pendi menghilangkan orientasiku, Nu’. Berulang kali dia bilang ‘jadilah orang, Kak, agar aku aman saat keluar dari duniaku’. Namun kau lihat sendiri. Pendi mati dan aku…” Aku terdiam lama. Kata-kata tertahan di tenggorokan. Bayangan pertemuan dengan Pendi, guyonan entengnya tentang dunia kelamnya, harapan-harapannya, segala bantuannya. Semua itu membuat air mata kembali jatuh tak terasa.
Entah berapa lama aku berada di duniaku sendiri. Kemudian aku sadar. Harnum memandangiku, kurasa dia iba, namun ini membuatku sakit. Air mata kuhapus dengan lengan baju, tersenyum patah dan berujar padanya: “Sebaiknya kau cari calon suami lain yang tidak cengeng, Nu’.”
“Aku manusia, Yo’. Aku tak ingin calon suami robot,” katanya.
“Tapi aku sudah seperti mayat sekarang. Aku benar-benar kehilangan semangat.”
“Wajar. Tapi kamu bukan mayat. Kamu hanya perlu menenangkan diri.”
“Kau ikhlas aku tak ke Australia sekarang?”
“Bahkan tak ke sanapun tak jadi soal. Aku kan sudah pernah mengalami!”
Ya, teman-teman—terutama Harnum—telah pernah kukecewakan saat aku tidak ikut ke Bali. Gara-gara Pendi, sekarang gara-gara dia lagi. Harnum telah belajar tentang diriku, sekarang dia pasrah. “Tentang pernikahan, kurasa tak ada pengantin baru yang langsung terpisah begitu jauh,” kataku.
Untuk yang satu ini Harnum berpikir lama. Dia menatap tajam ke mataku. Kemudian dia mengangguk.
Aku memandang ke tempat lain di mana pihak keluarga saling berangkulan dan bertangisan.
Meninggalnya Pendi benar-benar menghilangkan orientasiku. Kembalinya Harnum ke Australia tak menarik perhatianku padahal seharusnya kami berdua yang berangkat ke sana. Bahkan untuk melanjutkan kuliah di dalam negeripun tak terpikirkan olehku. Justru cara menyampaikan apa yang dilakukan Pendi selama berada di Jawa, juga tentang uang yang dititipkannya yang entah sudah berapa ratus juta jumlahnya, itu yang menjadi beban pikiranku.
***
Waktu ta’ajia untuk meninggalnya Pendi ditetapkan lima malam. Selama itu, siangnya, berduyun-duyun ibu-ibu datang menghibur keluarga dengan membawa beras dan rempah-rempah. Malamnya, rumah orang tua Pendi yang sempit dipenuhi orang yang sholat Magrib dan Isya.
Melihat banyaknya orang yang datang, mulai dari pemakaman sampai waktu ta’ajia, Pendi seperti bukan penjahat saja layaknya—bahkan dia seperti pahlawan. Mungkin karena pidato Kolonel Arif Pambudi/Papa Harnum saat pemakaman yang kelihatannya membuat hadirin memaklumi perbuatan Pendi, mungkin karena pergaulan orang tua Pendi, mungkin juga karena hampir semua orang kampung adalah kerabat yang sangat menjunjung tinggi kekerabatan sampai-sampai tak begitu peduli apakah kerabatnya ulama atau penjahat.
Entahlah. Yang pasti aku luar biasa sibuk. Syukurlah. Walau seperti cara orang mabuk menghilangkan masalahnya namun minimal ini sedikit mengalihkan pemikiranku. Pada malam kelima Remaja Masjid mengadakan taskiran. Penceramah begitu bersemangat menyerang polisi yang membekingi preman tambang. “Almarhum Efendi Kokait hanya satu dari sekian banyak korban kesewenangan polisi,” katanya.
***
Rumah orang tua Pendi perlahan sunyi. Aku sudah tidak begitu sibuk lagi.
Malam itu kami berkumpul setelah tonggoluan dibongkar. Yang ada tinggal kami, kerabat dekat orang tua Pendi. Semua mata memandangiku. Kemudian, meluncurlah pertanyaan-pertanyaan. Kuungkap hampir semua yang kutahu tentang perbuatan Pendi. Kuusahakan tidak mempersalahkan dan membenarkan perbuatan Pendi. Perkataan Papa Harnum kuulang berulang-ulang.
“Kau tahu tapi mengapa kau membiarkannya, Yo’?”
Aku terhenyak. Kata-kata Papa Ramli sudah merupakan tuduhan. Kucoba menjelaskan usahaku mengeluarkan Pendi dari dunia kelamnya. Namun, nampaknya orang tua Pendi tak mau menerima. Nampaknya mereka menganggapku tak mempedulikan kekerabatan, tak mengindahkan pogogalum.
Akhirnya aku diam. Masalah yang paling krusial, tentang uang yang dititipkan Pendi belum aku katakan. Tapi mereka sudah menyalahkanku. Andai kukatakan itu, mungkin mereka akan menganggapku telah memanfaatkan Pendi.
Aku memandangi Ramli yang duduk disamping Lela, isterinya yang perutnya sudah membuncit. Kelak aku tahu bahwa Lela ternyata anak satu-satunya orang berada di kampung tetangga. Kontras dengan Ramli yang orang tuanya nyaris tak punya apa-apa. Perbedaan kekayaan ini membuat orang tua Lela tidak menyetujui hubungan anaknya dengan Ramli. Namun Ramli dan Lela tak habis akal. Mereka sepakat melakukan perbuatan terlarang sampai Lela hamil yang akhirnya membuat orang tua Lela menyerah.
Jelas sudah terlambat untuk Ramli memanfaatkan uang dari Pendi yang ada padaku.
Aku memandangi Anisa. Mengapa aku terpaku pada Ramli? Apa aku membedakan lelaki-perempuan seperti orang-orang? Pemikiran yang aneh bagi aktivis sepertiku.
“Kamu tak boleh memikirkan pernikahan dulu, Nis. Kamu harus sekolah sampai jadi sarjana,” kataku, menekan.
“Wah, berarti kakak siap membiayai kuliah saya?” sambut Anisa.
“Siapa takut!” kataku dengan bibir mencemooh membuat semua tertawa.
Kemudian, aku terlibat dalam penjalasan panjang-lebar tentang pentingnya sekolah. bahwa sekolah bukan sekadar agar lebih mudah mendapatkan pekerjaan atau lebih dihormati di tengah masyarakat. Lebih dari itu, agar tidak mudah dibodohi oleh mereka yang punya kekayaan atau kedudukan. Agar apa yang terjadi pada Pendi tak terulang lagi.
Air mata kembali mengalir.

mudah mudahan masih ada pendi pendi yang akan lahir
BalasHapus